Hukuman mati kerap merupakan perdebatan umum yang lazim terjadi diseluruh dunia, yang tentu menimbulkan sikap pro dan kontra. Perdebatan hukuman mati di Indonesia juga cukup menarik di perbincangkan, hal ini kerap dijadikan bahasan dalam ajang debat.
Sebagai manusia yang mendambakan keadilan, tentu sikap pro terhadap hukuman mati lebih banyak dipilih, begitu banyak dalil yang dapat dikemukakan untuk menyatakan pro, sehingga saya hanya akan menulis dalil-dalil mengenai pernyataan kontra terhadap hukuman mati di Indonesia.
Dasar hukum (legal standing) Hukuman mati di indonesia termuat dalam pasal 10 KUHP dan Undang-undang pidana khusus lainnya seperti UU No.5 tahun 2009 tentang narkotika dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hak Asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Mah Kuasa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mngurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut Hak Asasi Manusi sesorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Di dalam aline IV Pembukaan UUD 1945 juga dapat dipahami bahwa Indonesia menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 28 A Undang-undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya . Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelasskan : hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusuia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaannya pasal 28 A UUD 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I UUD 1945 hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat , tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan berperang, dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup bersifat non derogable human rights artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat derogable human right artinya dapat disimpangi dalam keadaan darurat atau alasan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Dari pembahsanan tentang HAM diatas dapat kita simpulkan bahwa negara menjadin hak asasi tiap-tiap warga negaranya yang terdapat dalam UU 1945.
Kebijakan Inkonstitusional
Dari uraian yang ada sebelumnya maka hukuman mati secara a contrario dalam Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah ha. asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Asas hukum indonesia, mengenal adanya asas Lex superior derogat legi inferior, artinya kalau terjadi konflik atau pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan. Karena dalam hierarki perundangan-undangan, kedudukan UUD lebih tinggi kedudukannya daripada UU. Sehingga dapat dikatakan bahwa UU yang memuat hukuman mati telah bertentangan dengan UUD.
Sebagian besar Negara sudah tidak mengenal lagi hukuman mati. Negeri Belanda yang merupakan kiblat dari hukum di Negara Indonesia sejak 1870 telah menghapuskan hukuman mati. Tetapi hal ini tidak diikuti oleh daerah koloninya karena pemerintah kolonial menganggap hukuman mati harus dipertahankan dalam keinginan untuk melindungi kepentingan politiknya
Menurut Utrecht, salah satu pertimbangan yang sudah tentu secara sadar atau tidak sadar ditimbulkan oleh pihak pemerintah kolonial yaitu hal hukum pidana menjadi alat paling tajam bagi satu “rullling class” untuk mempertahankan kedudukannya.
Sebenarnya pro dan kontra akan hukuman mati bukan merupakan hal yang baru karena sudah dari dulu dipertentangkan tanpa akhir oleh ahli hukum kita. Tercatat Ruslan Saleh yang dengan tegas mengatakan ia tidak dapat menerima,bahkan menolak adanya pidana mati baik sebagai ancaman hukuman maupun pelaksanaannya.
Sebaliknya Jonkers mendukung hukuman mati sebagai suatu “noodrecht” dan hal ini diikuti oleh pembuat WvS yang hanya menentukan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan yang paling berat, yaitu ; a. Kejahatan-kejahatan berat terhadap keamanan Negara yang melanggar pasal 104, 105, 111 ayat 3 jo. 129 (pasal 105 KUHP telah dihapuskan) b .Pembunuhan, melanggar pasal 130 ayat 3, 140 ayant 3, 340 (dalam KUHP pasal 130 telah dihapuskan) c. Pencurian dan pemerasan dengan factor-faktor yang memberatkan , yaitu pasal 365 ayat 4 dan 468 ayat 2. d. Pembajakan laut, pantai dan sungai seperti yang diatur oleh pasal 444. Berbeda dengan dalih pendukung hukuman mati masa kini maka Jonkers mengatakan bahsa mereka yang mengemukakakn keberatan terhadap hukuman mati menyatakan bahwa hukuman mati itu bertentangan dengan agama dan etika, dan apalagi dalam hal bilamana kemudian ternyata bahwa Hakim ketika menjatuhkan hukuman mati itu tersesat (lijkedwaling) maka hukuman tidak lagi dapat diubah atau dibatalkan karena yang dihukum telah mati.
Kontra Moralitas
Dipertahankannya hukuman mati sejalan dengan pikiran Kant yang dikenal dengan teori pembalasan yang menyatakan bahwa tujuan hukuman adalah suatu pembalasan, dimana siapa yang membunuh harus dibunuh pula. Sedangkan Feurbach menghendaki hukuman itu harus dapat menakutkan seorang supaya tidak melakukan kejahatan, yang dikenal dengan teori menakut-nakuti. Nampaknya pendukung hukuman mati di Negara kita cenderung mengikuti pendapat Kant dan Feurbach, meski ada pula yang berlindung dibalik hukum agama sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman itu.
Sebaliknya mereka yang menentang hukuman mati mengingatkan bahwa tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki si pelaku kejahatan agar dapat menjadi manusia yang baik dan mereka menganggap hukuman bukan merupakan suatu tindak balas dendam. Selain itu mereka menentang bahwa dengan dijatuhkannya hukuman mati maka orang akan takut untuk melakukan kejahatan karena menurut pengamatan mereka tidak ada hubungannya antara angka kejahatan dengan hukuman mati.
Pembicaraan tentang hukuman mati berkaitan erat dengan persoalan Hak Asasi Manusia. Terlepas dari berbagai argumen yang menegasikan HAM dari pembahasan soal hukuman mati, secara de facto hukuman mati merupakan tindakan penghilangan nyawa seseorang dan itu berarti menafikan hak kehidupab yang melekat pada seseorang sebagai manusia. Kehidupan seseorang dibatasi atau diakhiri dengan ketentuan dalam produk hukum yang berlaku dalam suatu wilayah. Pemahaman yang lebih komperhensif tentang korelasi antara hukuman mati dan HAM akan lebih tampak jika dipahami dalam pemikiran yang holistik melewati alur berpikir yang sistemik yakni melihat hak hidup sebagai hak yang absolut melekat dan tidak dapat dicabut oleh siapapun, kaitan hukuman mati dengan kewajiban asasi dan moralitas diri, dan kemanusiaan manusia yang tidak bisa dijadikan alat bagi yang lain.
Disisi lain, Immanuel Kant, seorang filsuf etika berpendapat : “manusia adalah tujuan dalam dirinya sendiri”. Oleh sebab itu, manusia tidak dapat atau tidak boleh dijadikan alat atau saran bagi realitas atau tujuan dari yang lain. Manusia adalah subyek yang memiliki tujuan dalam dirinya sendiri, memiliki kedirian (self-hood) dan adalah pusat dunia. Sebagai pusat dunia manusia mempunyai hak penuh untuk menjadikan dirinya, berhak mengembangkan dirinya lewat interaksi dengan duni adan segala isinya. Manusia dalam dirinya memiliki hak dasar untuk hidup dan menjalankan kehidupan sebagai kehidupannya sendiri dan tiap individu adalah miliknya sendiri.
Jika konsep manusia diatas dikaitkan dengan tujuan dari adanya hukuman pidana termasuk hukuman mati maka dapat dikatakan beberapa hal berikut : pertama, hukuman mati untuk tujuan pembalasan sesungguhnya menegasikan hak manusia untuk memiliki kehidupan pada hal itu merupakan hak dasar yang tak dapat diambil dari siapapun. Disini ada kesan bahwa hukuman mati menjadi cara bagi tercapainya tujuan dari manusia lain yang menghendaki adanya pembalasan demi kepuasan dan rasa keadilan. Pembalasan yang setimpal tidak harus berarti manusia sebagai pelaku harus mengalami hal yang sama seperti yang dialami korban. Rasa keadilan masyrakat tidak identik dengan prinsip ius talionis (mata ganti mata, gigi ganti gigi, mati ganti mati); Kedua, efek jera yang diharapkan dari hukuman mati sesungguhnya mengindikasikan bahwa si pelaku dijadikan sarana atau alat bagi tercapai tujuan tertentu berkaitan dengan manusia lain atau realitas yang lain. Tindakan seperti ini sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan seseorang sebagai manusia lain atau realitas yang lain. Tindaka seperti ini sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan seseorang sebagai manusia.Manusia dijadikan alat atau sarana dan bukan subyek otonom yang di dalam dirinya terkandung tujuan yang otonom. Jika tujuan itu dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera ama yang mesti dipikirkan atau diutamakan adalah efek jera bagi si pelaku bukan bagi yang lain. Prinsip yang berlaku disini adalah manusia itu lebih penting dan utama dari aturan. Hukum adalah masalah manusia dan karena itu paradigma yang dikonstruksikan adalah “hukum untuk manusia”.
Hal ini diperburuk oleh kenyataan bahwa secara sosiologis tidak ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan secara tegas kalau hukuman mati lebih tinggi pengaruhnya dalam mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya, hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubunan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan anatara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumut hidup. Menurut Arief Sidharta hukum pidana seharusnya berfungsi sebagai upaya resosialisasi bagi narapidana supaya bisa mengembalikan ketaatan sesorang ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat. Hukuman mati, lanjut sidharta, juga tidak terbukti menghasilkan efek jera daripada ketika menerapkan hukuman seumur hidup tanpa remisi. Resiko lain dari pelaksanaan hukuman mati adalah ketika dikemudian hari ternyata ada kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka pemerintah hanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana.