Indonesia sebagai Negara kesatuan yang berbentuk republik menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan mekanisme pergantian kepemimpinan. Hal ini tercermin melalui pemilihan umum yang menggunakan asas one man one vote. Pemilihan umum tersebut dilakukan dalam rangka memilih presiden dan wakil presiden hingga kepala daerah tingkat provinsi dan kota/kabupaten.
Setiap perhelatan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) terdapat beragam dinamika yang menarik. Dinamika pada pemilihan kepala daerah pada tahun 2020 ini terdapat trend calon tunggal, calon muda, calon independen hingga istilah dinasti politik.

Pemberitaan yang paling menjadi sorotan media massa nasional adalah maju nya beberapa keluarga dekat dan kerabat pejabat Negara dalam konstestasi pemilihan kepala daerah. Paling kencang di beritakan adalah maju nya putra sulung presiden Joko widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka. Kemudian menantu presiden Joko widodo yaitu Bobby Nasution. Keponakan Prabowo Subianto Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, kemudian Hanindhito Himawan Pramono yakni putra sekretaris kabinet yakni pramono anung. Hingga Irman Yasin Limpo yakni putra dari Sjahrul Yasin Limpo yang saat ini menjabat menteri pertanian. Tidak lepas pula Siti Nur Azizah yakni putri wakil presiden RI Mar’uf Amin.
Berangkat dari historis Indonesia tidak lepas dari kultur politik pada zaman kerajaan. Baik hindu, budha hingga kerajaan islam. Secara teoritis pada masa itu menganut sistem patrilineal, yakni budaya politik dari garis keturunan ayah untuk menduduki jabatan kekuasaan. Kemudian bagi beberapa kalangan mengistilahkan dengan sebutan margana.
Kultur politik di Indonesia pada masa lampau tidak mudah hilang hingga sekarang. Bahkan pada masa kolonialisme dan imperialisme penjajahan menerapkan cara yang feodal dalam menentukan pejabat politik. Darah keturunan sangat berpengaruh di masa itu. Mengingat belanda menganut sistem kerajaan dan jepang menganut sistem kekaisaran. Hal ini menjadi sebuah pembiasaan yang melekat pada Indonesia setelah merdeka hingga saat ini.
Pada masa orde baru bahkan hal ini masih terjadi, masyarakat mengenal dengan istilah keluarga cendana. Sebutan tersebut mempersepsikan bahwa ada ring keluarga yang terlibat dalam sentral kekuasaan. Bahkan terus berlanjut hingga pasca reformasi, terdapat istilah keluarga cikeas. Stigma ini melekat pada persepsi publik. Pada saat menjelang pemilihan umum kepala daerah serentak 2020 muncul persepsi Dinasti Jokowi.
Masyarakat terlalu bias mengartikan sebuah konsep politik dinasti. Sedangkan secara terminologi politik dinasti diartikan dalam konsep kerajaan. Secara lebih khusus di artikan anggota keluarga yang berkuasa penuh atas wilayah, kehidupan politik, sumber kekuata ekonomi, penguasaan atas wilayah tanpa campur tangan pihak lain. Nama lain dari dinasti adalah kerajaan, kekaisaran, dan kesultanan. Jadi, tidak tepat menyamaratakan konsep dinasti politik dengan kandidat atau calon kepala daerah yang berkonstestasi dalam pemilu. Bahkan secara regulasi, undang – undang menjamin hak setiap warga Negara untuk berpolitik dan menyampaikan pendapat di depan publik.
Pada dasarnya di Indonesia tidak ada aturan hukum yang melarang praktik politik kekeluargaan atau politik kekerabatan. Namun perlu di ketahui tentang politik dinasti tidak lepas dari etika politik. Karena praktik politik dinasti tersebut berpotensi menghambat laju kader lain yang seharusnya juga memiliki kesempatan yang sama.
Meskipun demikian, para konstestator pemilihan kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga maupun hubungan kerabat dengan pejabat publik, di harapkan tidak memanfaatkan nama besar keluarga untuk menduduki posisi jabatan politik. Pencalonan kepala daerah di harapkan tetap mengutamakan aspek kapabilitas, aseptabilitas, hingga aspek profesionalitas yang memiliki value dalam memimpin suatu daerah. Sehingga tidak hanya mengedepankan aspek popularitas.
Di Indonesia, istilah politik dinasti lebih cenderung menjadi diksi yang di bangun melalui pemberitaan media massa. Sehingga masyarakat lebih familiar dengan istilah tersebut. Pengamat politik yang merupakan direktur eksekutif indikator politik Indonesia, yakni burhanuddin muhtadi menganalogikan dinasti politik di Indonesia merupakan predatoric dynasty yang mirip dengan Negara filiphina. Penguasaan politik di Negara tersebut dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah di duduki oleh keluarga dan kerabat pemerintahan. Hal ini jika terjadi di Indonesia akan berdampak buruk, yakni penguasaan asset. Peran dominan pejabat publik sangat mempengaruhi keputusan politik yang bersifat teknis maupun strategis.
Terlepas dari dampak buruk tersebut, tidak selamanya politik dinasti memiliki persepsi negatif. Sebagai contoh di Amerika terdapat kekerabatan antara Hillary Clinton dan George Bush, mereka meniti karir politik tidak secara instan. Inilah secara teori di artikan sebagai political mentorship.
Maka, hubungan kekerabatan dalam konstestasi politik bukan sebuah persoalan. Karena semua warga Negara berhak untuk memilih dan di pilih secara politik. Meskipun demikian, harus mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek etika politik. Terlebih Indonesia di kenal sebagai Negara yang mengutamakan budi pekerti. Selain itu pertimbangan untuk menduduki jabatan politik melalui konstestasi pilkada harus mengutamakan kemampuan atau kualifikasi sebagai seorang pejabat publik. Bukan hanya memiliki popularitas karena nama besar keluarga.