UU Kepolisian Kini dan Nanti

Source: AI

Dalam rangka memperbaiki kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, sudah sepatutnya dilakukan pembaharuan atau Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Meskipun, beberapa Lembaga survei menyebutkan bahwa kinerja Polisi naik sampai 75%, namun hasil survei tersebut masih bisa kita perdebatkan termasuk kredibilitas lembaganya. Justru realita yang terjadi di Masyarakat menunjukkan bahwa, kinerja Polisi semakin hari semakin memburuk. Beberapa contoh kasus seperti: Polisi di Sukabumi digerebek saat bersama istri orang, kekerasan anak oleh oknum Polisi, Perempuan diperlakukan tidak baik oleh Polisi, Polisi lakukan pelecehan seksual kepada siswi SMP, Polisi bunuh bayinya yang berusia 2 bulan, bahkan pencari bekicot jadi salah tangkap dan berujung dianiaya Polisi, dan masih banyak lagi. Pola kejahatan tersebut merupakan potret yang terjadi di Indonesia saat ini yang dilakukan oleh Polisi dan bukan hal yang baru. Hampir setiap hari kita selalu disuguhkan berita mengenai perilaku bejat oleh Polisi.

Rentetan peristiwa diatas cukup untuk menggambarkan bahwa kinerja kepolisian semakin hari semakin memburuk sehingga perlu adanya kebutuhan hukum untuk merubah perilaku Polisi yang semakin hari semakin tidak bermoral menjadi bermoral. Perubahan fundamental tentu dimulai dari pembahasan revisi UU Kepolisian. Dalam sebuah peraturan terdapat yang namanya bahasa. Dalam konteks peraturan, maka yang dimaksud adalah bahasa hukum. Bahasa hukum sendiri merupakan bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam Masyarakat. Memahami bahasa hukum akan memberi efisiensi dan efektifitas serta validitas dalam mengkomunikasikan hukum dalam upaya pencapaian tujuan dan fungsi-fungsi hukum yang dibutuhkan, baik dalam konteks yuridis-normatif maupun dalam konteks empirisnya. Artinya, penggunaan bahasa dalam sebuah peraturan sangat krusial. Sebab kesalahan penggunaan bahasa akan mengubah maksud dan tujuan dalam sebuah peraturan.

Jika diperhatikan, dalam UU Kepolisian terdapat beberapa Pasal yang sebenarnya multitafsir secara bahasa dan perlu adanya perubahan. Seperti contoh Pasal 14 ayat (1) huruf a, j, dan k yang menyebutkan bahwa: “a. Kepolisian bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan”, “j. Melayani kepentingan warga Masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak berwenang”, dan “k. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Redaksi “sesuai kebutuhan”, “untuk sementara”, dan “sesuai perundang-undangan” jelas mengandung makna yang multitafsir, karena bahasa yang digunakan tidak spesifik dan tidak diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, maka yang terjadi justru dapat memperluas kewenangan Polri dalam menjalankan tugasnya. Bisa jadi Polisi melakukan penjagaan yang sebenarnya Masyarakat tidak membutuhkannya. Seperti contoh Polisi awasi ruang siber. Hal tersebut sangat berbahaya karena berpotensi mencederai dan mengancam demokrasi digital.

Atau peraturan Kepolisian No. 3 Tahun 2025 mengenai pengawasan terhadap orang asing yang sebenarnya bertentangan dengan UU Kepolisian. Diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i yang berbunyi: “melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait”. Jelas terdapat redaksi “dengan koordinasi instansi terkait”, yang seharusnya keluar peraturannya berbentuk Keputusan Bersama, bukan peraturan kepolisian yang berdiri sendiri. Disini jelas Kepolisian bertugas melebihi kewenangannya, apalagi sampai harus mendapatkan izin Kepolisian sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Nomor 3 Tahun 2025.  Jelas bahwa Kepolisian menjudge atau menjustifikasi bahwa kegiatan jurnalistik dan penelitian merupakan sesuatu yang berbahaya karena harus mendapatkan surat keterangan dari Kepolisian. Basis argument atau fundamental thingking peraturan ini jelas harus dipertanyakan. Atau jangan-jangan penambahan bunyi Pasal tersebut hanya untuk kepentingan politik tertentu? Ini yang perlu untuk di kritisi.

Selain itu, Pasal 16 ayat (1) yang seharusnya mengatur lebih lanjut terkait Pasal 13 dan 14 tentang Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu: “Memelihara keamanan dan ketertiban Masyarakat, menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat”. Namun justru Pasal 16 ayat (1) hanya sebatas mengatur soal upaya menindak atau menegakkan hukum. Seharusnya ada upaya mengenai pemeliharaan dan pemberian pelayanan, seperti halnya memberikan hak kepada tersangka/calon terdakwa untuk mendapatkan pendampingan hukum dalam proses penyidikan, sebagaimana termuat dalam Pasal 13 dan 14. Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (2) huruf e yang berbunyi “menghormati Hak Asasi Manusia” seharusnya diletakkan di atas, bukan diletakkan dibagian paling bawah. Karena Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar manusia dalam hidup sudah seharusnya dijunjung paling tinggi. Terlebih harus adanya penambahan Pasal mengenai pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/institusi di luar Kepolisian untuk menjamin terjaminnya HAM para tersangka/calon terdakwa.

Lanjut, Pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Redaksi yang menyebutkan bahwa “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri” jelas memperbesar kewenangan Polisi dalam kinerjanya dan seolah mengaburkan Pasal sebelumnya yang sudah jelas mengatur tugas Kepolisian selain Pasal diatas. Yang tak kalah penting adalah soal perekrutan anggota Kepolisian yang termaktub dalam Pasal 21. Harus ada pemutakhiran perekrutan untuk mendapatkan calon anggota Kepolisian yang berkualitas dan bermoral. Harus ada penilaian soal perilaku berintegritas oleh Lembaga yudikatif karena ada irisan mengenai penegakan hukum. Termasuk transparansi calon anggota Kepolisian yang diterima dan tidak diterima. Hal tersebut tentu dalam rangka mengembalikan kepercayaan Masyarakat kepada Institusi Kepolisian.

 Mengenai Pasal 38 yang mengatur tentang Komisi Kepolisian Nasional (KPN) juga perlu diperbaiki. Pasal 38 tersebut sangat berbau politis, sehingga untuk menghilangkan sifat politik dalam pembentukan KPN, seharusnya pembentukan KPN tidak melalui Keputusan Presiden. Dalam hal ini Presiden mempunyai kewenangan penuh dalam memilih siapa saja yang ingin terlibat dalam KPN, meskipun ada pembagian anggota. Harusnya pembentukan dilakukan oleh lembaga yudikatif, karena tugas sebagaimana yang dilakukan oleh KPN bersifat hukum yang sifatnya implementatif. Modelnya seharusnya bottom-up (bawah ke atas), sehingga kebijakan yang dihasilkan akan objektif. Adanya dominasi kelas oleh penguasa dan perbedaan strata sosial dalam anggota KPN juga harus diperhatikan. Karena realitas yang terjadi, dominasi kelas oleh penguasa mampu mengubah arah kebijakan yang seharusnya solutif tapi malah sangat teknokratis.

Harus ada pemisahan quorum ataupun penambahan pembagian anggota yang diisi oleh kalangan masyarakat seperti akademisi atau aktivis masyarakat sipil. Hal ini dalam rangka membuka peluang bagi Masyarakat untuk ikut memberikan rekomendasi arah kebijakan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Boleh dikata bahwa, tidak berjalannya fungsi pembagian kekuasaan saat ini karena masih terdapat celah dalam hukum untuk melakukan politisasi/kongkalikong. Bahasa hukum hendaknya sangat perlu diperhatikan dalam pembentukan sebuah regulasi agar menutup celah penguasa agar tidak dominan, termasuk Presiden sekalipun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *