Analisis Kritis Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif Deregulasi

Oleh : Farco Siswiyanto Raharjo.

Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan visi Indonesia maju tahun 2045. Berorientasi menjadi lima besar kekuatan ekonomi didunia. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan mengupayakan kelancaran iklim investasi hingga penyederhanaan peraturan yang tumpang tindih. Hal ini dilakukan supaya investasi berjalan dengan lebih mudah serta mendorong keharmonisan peraturan/regulasi supaya selaras.

Atas dasar tersebut, deregulasi dan debirokrasi perlu dilakukan. Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang hendak dipangkas, dirubah, bahkan bila perlu membuat norma baru yang belum ada UU sebelumnya melalui satu UU sekaligus yang dipopulerkan dengan nama Omnibus Law. Secara teknis omnibus law telah dibagi menjadi beberapa klaster prioritas antara lain RUU Cipta Lapangan Kerja; RUU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibukota Negara demi menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Kontroversi yang terjadi saat ini adalah menyoroti omnibus law tentang RUU Cipta Kerja. Terdapat beberapa penolakan dari kalangan masyarakat, terutama buruh. Awalnya RUU Cipta Lapangan Kerja saat ini dirubah menjadi RUU Cipta Kerja. Hal ini memunculkan persoalan baru yaitu Hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, PHK sangat mudah dilakukan, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, jam kerja yang eksploitatif, tenaga kerja asing (TKA), buruh kasar, unskill worker, berpotensi bebas masuk ke Indonesia, hilangnya jaminan sosial, dan sanksi pidana hilang, dalam UU 13/2003, pengusaha yang tidak memberikan kepada pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau dengan denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 500 juta. Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana ini dihilangkan.

Menanggapi pro dan kontra terhadap Omnibus law RUU Cipta Kerja tersebut dianalisis melalui tiga pendekatan yakni yuridis, filosofis dan sosiologis. Secara yuridis DPR dan Presiden selaku pembentuk UU memerlukan blueprint deregulasi yang utamanya memuat tentang raison d’etre atau alasan untuk menjadikan suatu UU layak menjadi omnibus law, yang hal itu dapat dilakukan dengan meninjau pada konteks pengaturannya. Omnibus law bukanlah semacam UU payung yang diacu oleh UU terkait lainnya. Melainkan, justru untuk meleburkan segala UU yang bersifat sektoral ke dalam satu pengaturan sesuai konteksnya. Untuk itu, agar daya laku dan daya gunanya tepat sasaran, maka diperlukan kontekstualisasi pengaturan dengan cara; pertama, mengidentifikasi UU mana saja, yang dibentuk berdasarkan amanah dari pasal atau ayat UUD 1945 (Konstitusi), yang dianggap layak menjadi UU konsolidasi.

Menanggapi aspek yuridis penyusunan omnibuslaw RUU Cipta Kerja bukanlah semacam UU payung yang diacu oleh UU terkait lainnya. Melainkan, justru untuk meleburkan segala UU yang bersifat sektoral ke dalam satu pengaturan sesuai konteksnya. Untuk itu, agar daya laku dan daya gunanya tepat sasaran, maka diperlukan kontekstualisasi pengaturan dengan cara; pertama, mengidentifikasi UU mana saja, yang dibentuk berdasarkan amanah dari pasal atau ayat UUD 1945 (Konstitusi), yang dianggap layak menjadi UU konsolidasi. Misalkan jangan sampai RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 pasal 27 ayat 2 yaitu “Tiap tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Jangan sampai omnibus law berpotensi mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang. Sifatnya yang cepat dan merambah banyak sektor dikhawatirkan akan menerobos beberapa tahapan dalam pembentukan undang-undang, baik di tingkat perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, maupun pengundangan. Pelanggaran ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki segala tindakan pemerintah didasari hukum.

Secara materil, landasan filosofis dari RUU omnibus law sendiri memiliki tujuan yang baik yakni menyelaraskan berbagai aturan yang inkonsisten, menyederhanakan regulasi, mempermudah investasi, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat. Berangkat dari Indonesia yang dilanda over-regulasi. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat, pada masa pemerintahan Jokowi hingga November 2019, telah terbit 10.180 regulasi. Rinciannya, 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri. Data inilah yang menjadi salah satu pertimbangan setuju dengan omnibus law. Omnibus law mendorong upaya perkuat perekonomian nasional melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberitan fasilitas perpajakan. Salah satu sisi positif dari tujuan RUU Omnibus Law tersebut adalah untuk menciptakan lapangan kerja bagi para pengangguran. Salah satu fokus dari omnibus law, adalah untuk menciptakan pekerjaan bagi 7 juta penganggur yang ada.

Secara aspek sosiologis RUU Cipta Kerja tersebut harus memperhatikan equilibrium atau keseimbangan hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah. Sehingga dipastikan tidak ada kepentingan publik yang tereliminir. Kemudian, dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja, pemerintah maupun DPR mesti amat terbuka dalam proses pembahasan RUU tersebut. Para pembentuk RUU Cipta Kerja juga harus membuka ruang partisipasi publik secara luas dalam setiap tahap pembentukan omnibus law RUU Cipta Kerja, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, para ahli dari berbagai perguruan tinggi, serta para pemangku kepentingan yang terdampak seperti para buruh, aktivis lingkungan, pelaku usaha, maupun pemerintah daerah. 

Para pembentuk undang-undang harus mengimplementasikan pendekatan ini secara komprehensif dan progresif sebagai upaya terobosan dalam reformasi hukum ke depan tanpa menabrak regulasi yang tersedia. Dengan demikian, jika berbagai hal tersebut dilakukan sedang terjadi upaya hukum yang imperatif dan demokratis.  

Omnibus law RUU Cipta Kerja dapat menjadi produk hukum yang berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial sekaligus sarana pembangunan nasional untuk kesejaheraan rakyat. Dengan kata lain, omnibus law juga dapat berperan sebagai produk hukum yang progresif sekaligus sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat yang dapat memandu terciptanya kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *