Oleh : Farco Siswiyanto Raharjo.
DPR RI telah melakukan pengesahan Revisi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara atau lebih dikenal dengan istilah minerba pada 12 Mei 2020. Seakan menjadi kejutan di tengah pandemi corona virus desease 19 yang tengah mewabah seantero jagad raya, termasuk Indonesia.

Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian.
Semestinya Pertambangan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparasnsi dan akuntabilitasn; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Aspek aspek tersebut harus dijamin demi kelangsungan minerba yang good governance. Jangan sampai peraturan perundang-undangan yang dibuat justru mengabaikan kepentingan publik dan hanya mengakomodir pihak yang memiliki kepentingan didalamnya. Keberadaan peraturan perundang undangan yang obyektif akan menekan patologi birokrasi kelembagaan sehingga tidak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sering kita mendengar bahwa kelompok yang memiliki pemufakatan jahat terhadap tata kelola minerba melakukan manipulasi proyek strategis pertambangan dengan berbagai bentuk. Bahkan revisi peraturan perundang-undangan bisa dijadikan upaya untuk melindungi diri supaya tidak terjerat kasus hukum.
Menyoroti Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang minerba yang telah disahkan tersebut telah menuai dinamika polemic serta kontroversi ditengah publik. Beberapa pasal yang telah didisain menjadi catatatan kritis disahkannya revisi undang-undang ini.
Perpanjangan kontrak tanpa melalui proses lelang yang terdapat pada pasal 169 menjadi kritik terhadap undang-undang ini. Apabila perpanjangan kontrak dilakukan melalui proses lelang, maka akan menabrak asas transparansi tata kelola pertambangan. Bisa jadi ini bertentangan dengan peraturan perundang undangan lain yang terkait dengan investasi serta penyertaan modal. Selain itu akan memunculkan polemik baru, yaitu pihak lain yang akan mengikuti lelang pengelolaan pertambangan akan tertutup pintunya. Padahal bisa jadi pihak lain tersebut memiliki grand desain program tata kelola pertambangan yang lebih berwawasan lingkungan, transparan, dan mampu memberikan keuntungan lebih kepada Negara. Bukan kepada segelintir pejabat yang berpotensi mampu menerima suap.
Penguatan BUMN lemah karena minim regulasi pengembalihan lahan pada Negara ketika kontrak habis. Hal ini sebagai wujud sebuah Ideologi Korporasi yang melanggar Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Kita ketahui bahwa kekayaan yang terkandung dibumi Indonesia dikuasai oleh Negara dan sebesar besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Pasal itu menjelaskan bahwa kesejahteraan rakyat menjadi tujuan. Bukan kekayaan untuk segelintir pihak yang memiliki kepentingan.
Alangkah lebih bijak bahwa fungsi BUMN dikuatkan dalam keterlibatan tata kelola minerba yang ada di Indonesia. Sehingga tidak semua diserahkan pada pemilik modal asing (PMA). Apabila BUMN mampu mengelola sektor minerba secara mandiri dan profesional. Maka akan mampu menopang laju kembang perekonomian secara makro.
Berikutnya terkait minimnya keterlibatan partisipasi publik. RUU Minerba tidak memenuhi asas keterbukaan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder secara luas, termasuk pemerintah daerah dan BUMN. Hal ini jelas melanggar asas keterbukaan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bersifat transparan dan terbuka.
Dalam terminologi kebijakan publik / public policy, setiap membuat produk regulasi atau peraturan yang obyektif harus melalui proses agenda setting. Yakni melibatkan publik dalam kajian peraturan yang akan diterbitkan tersebut. Lembaga legislatif maupun eksekutif harus menampung aspirasi publik sebagai pertimbangan dalam menerbitkan suatu kebijakan yang tertuang melalui peraturan perundang-undangan.
Kemudian pengesahan revisi undang undang nomor 4 tahun 2009 tentang minerba dapat dikatakan Cacat moralitas prosedur yaitu, RUU Minerba tidak memenuhi kriteria carry over sesuai Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemangku kebijakan semestinya lebih mampu memahami bagaimana setiap revisi peraturan perundang-undangan jangan sampai cacat moralitas prosedur. Lakukan tahapan berjenjang dalam proses formulasi, sehingga produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan memiliki qualified law yang baik dan tidak mengingkari nurani publik.
Menyimak Pidana pertambangan illegal terdapat revisi yakni hukuman yakni dari 10 tahun penjara dan denda 10 miliar menjadi penjara 5 tahun dan denda 100 miliar. Hal ini menurunkan sanksi pidana badan, tapi menaikan nilai maksimal pidana denda. Secara subtansif hukuman pidana badan atau hukuman penjara bagi pelaku pertambangan illegal harus ditingkatkan. Sangat rendah sekali jika pelaku pertambangan illegal kelas kakap melakukan pelanggaran yang merugikan Negara dengan jumlah yang besar justru menerima sanksi pidana penjara yang relatif singkat. Meskipun demikian, terdapat hal yang positif dalam revisi undang undang minerba tersebut yakni terkait delegasi kewenangan kepada pemerintah daerah yakni gubernur didasarkan pada prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan. Hal ini menguatkan keterlibatan pemerintah daerah dalam hal kewenangan diwilayah daerah tersebut. Sehingga fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat dilaksanakan secara nyata didaerah. Dengan adanya keterlibatan pemerintah daerah menjadikan pemerintah pusat tidak melaksanakan sentralisasi dalam pengelolaan minerba.