Dilema Pasal Penghinaan Presiden Dalam RKUHP

Dilema Pasal Penghinaan Presiden Dalam RKUHP

Rokhman Adi Putera Nugraha

Peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Konstitusi UMS

Email : rokhmanadi19012000@gmail.com

Abstrak:

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat atau dengan kata lain sudah tidak berlaku lagi. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa Pasal-Pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran, dengan lisan, tulisan, dan ekspresi, dan sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, mengatur kembali perbuatan tersebut sebagai tindak pidana sehingga menimbulkan perdebatan berbagai pihak. Sejatinya kebijakan kriminalisasi seperti ini dapat disimpulkan bahwa tindak pidana ini tidak perlu diatur lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama dalam hal menjamin atas Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap warga negara. Penjelasan Pasal RUU KUHP yang merumuskan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden tersebut tidak menyebutkan secara jelas kepentingan apa yang ada di balik pengaturan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.

  1. Pendahuluan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) selangkah lagi akan menjadi undang-undang. Pembahasan di tingkat Panitia Kerja RKUHP Komisi III telah selesai dan DPR bersama pemerintah sepakat melanjutkan ke tingkat selanjutnya yakni rapat paripurna. Meski nampaknya akan berjalan mulus, masih banyak elemen masyarakat sipil yang berharap RKUHP tak disahkan oleh DPR periode 2014-2019, yang akan habis masa kerjanya akhir bulan ini. Mereka merasa banyak pasal yang masih perlu dibenahi, bahkan ditiadakan. Salah satu poin adalah Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Dan Wakil Presiden. Dalam draf RKUHP, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 218 ayat (1) mengatakan: setiap orang yang dimuka umum “menyerang kehormatan atau harkat dan martabatdiri presiden dan wakil presiden dipidana penjara maksimal 3,6 tahun atau denda Rp150 juta.

Sementara Pasal 219 menyebutkan: setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar,sehingga terlihat oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi berisi penyerangan kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui publik, terancam hukuman paling lama 4,6 tahun atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.[1]

Sedangkan Pasal 220 menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari presiden atau wakil presiden.

Hukuman lebih berat diberikan bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Pada Pasal 219, disebutkan ancamannya adalah 4,5 tahun penjara. Sehingga berawal dari pasal tersebut dianggap berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi dan memukul mundur semangat reformasi yang sudah diperjuangkan bertahun-tahun.

  • Dilema Pasal Penghinaan Presiden dan Wapres

Pasal mengenai penghinaan presiden dalam KUHP sebenarnya sudah pernah diangkat di Mahkamah Konstitusi (MK) yakni dengan memutuskan untuk menghapusnya pada 2006. Karena dinilai pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Karena itulah semestinya pasal ini sudah tamat, sebab keputusan MK seharusnya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Akan tetapi DPR dan pemerintah membangkitkannya lagi dengan mengubahnya dari delik biasa menjadi delik aduan. Delik aduan berarti setiap orang yang menghina presiden harus diadukan terlebih dahulu oleh pihak yang merasa dirugikan atau korban sebelum bisa diproses penegak hukum. Sementara delik umum memungkinkan aparat memproses kasus tersebut dengan atau tanpa pengaduan korban. Serasa tak ada bedanya untuk membungkam kritik dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini.

Sebelumnya banyak orang yang telah didakwa dan dipidana karena telah melanggar pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang diatur dalam KUHP. Beberapa orang di antaranya Sri Bintang Pamungkas yang terlibat demo anti-Soeharto di Jerman[2], April 1995 dan divonis 10 bulan penjara. Nanang daen Mudzakir (aktivis mahasiswa) dihukum satu tahun penjara karena didakwa menghina Presiden yaitu menginjak foto Megawati dalam sebuah unjuk rasa di depan Istana Merdeka, pada tahun 2003. I Wayan Suardana (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) dihukum 6 bulan penjara karena dianggap menghina Presiden Yudhoyono dalam sebuah unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, pada tahun 2005. Berpijak pada beberapa fakta tersebut, pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dianggap membelenggu kebebasan untuk menyatakan pendapat.[3]

  • Penutup

Sampai saat ini Indonesia masih menggunakan dan memberlakukan KUHP warisan Kolonial Belanda (WvS) yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga perlu direvisi. RKUHP memuat banyak pasal (628 pasal) dan beberapa pasal menjadi krusial menimbulkan polemik dalam masyarakat diantaranya pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Menurut pihak yang setuju pasal tersebut dicantumkan dalam RKUHP karena Presiden dan Wapres sebagai simbol negara harus dilindungi, sementara pihak yang tidak setuju, khawatir pasal tersebut dapat melanggar HAM untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat dan pasal serupa dalam KUHP telah dicabut oleh MK. Alternatif solusi dari penulis untuk mengatasi dilema pasal penghinaan terhdapa presiden dan wakil presiden adalah pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dicabut atau tetap dicantumkan dalam RKUHP, namun harus menjadi delik materiil dan rumusan perbuatan/tindakan apa yang dikategorikan sebagai penghinaan kepada Presiden dan Wapres, harus jelas.


[1] Berpotensi melemahkan kebebasan pers di Indonesia, sebab dari sejarahnya pasal penghinaan presiden dulu diperuntukkan guna menjerat para penghina ratu Belanda. Namun konteksnya kala itu adalah ratu dan raja yang mana sebagai simbol negara bukan simbol pemerintah. Sedangkan saat ini di Indonesia presiden adalah simbol kepala negara dan juga kepala pemerintahan.

[2] Pasal 4 KUHP “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia”.

[3] Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *