Oleh: Arman Ramadhan
Pekerjanya masih jauh mendapatkan upah dan jam kerja yang layak. Bahkan, sebagian besarnya mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Anak mudanya kesulitan untuk mengakses pendidikan tinggi serta terancam menjadi pengangguran. Janji soal 19 juta lapangan kerja tak lebih dari sekadar omong kosong belaka dari mulut Sang Bocah Nepotisme.
Kondisi kontras sangat jelas terlihat dari para elite pejabat kita. Seolah tidak melihat atau bahkan tak memiliki empati, mereka mencoba menaikkan gaji maupun tunjangan mereka. Salah satunya tunjangan untuk rumah. Di tengah situasi itu, pernyataan merendahkan rakyat datang dari sejumlah pejabat di parlemen.
Kemarahan rakyat tak terbendung. Mereka segera melakukan konsolidasi dan turun ke jalan dengan membawa sejumlah tuntutan. Aksi itu bermula pada tanggal 25 Agustus 2025. Jalan-jalan di sejumlah kota, termasuk Jakarta dipenuhi oleh massa aksi dari mahasiswa, buruh, pelajar, hingga elemen masyarakat sipil lainnya.
Aksi itu yang berawal damai berubah menjadi ricuh sejak siang, setelah aparat kepolisian mengambil tindakan yang represif. Eskalasi aksi terus panas dan tegang yang diperparah dengan tragedi tewasnya driver ojol, Affan Kurniawan yang dilindas oleh rantis milik Brimob. Tragedi tersebut menimbulkan solidaritas dan kemarahan publik yang jauh lebih besar dan meluas.
Aksi demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025 lalu segera meluas. Di beberapa daerah terjadi kerusuhan dan penjarahan untuk mendiskreditkan tujuan dan aspirasi yang dibawa oleh peserta aksi. Hal itu bisa menjadi langkah pembenaran bagi pihak kepolisian untuk mengambil tindakan lebih jauh.
Tindakan polisi yang berlebihan berlanjut pasca demonstrasi. Pihak kepolisian memburu dan melakukan penangkapan secara besar-besar di berbagai kota. Mereka berburu para demonstran dan juga orang-orang kritis. Ada satu hal yang menarik dan pola yang seragam: penyitaan buku-buku yang dijadikan barang bukti oleh pihak kepolisian.
Penyitaan buku-buku yang kemudian dijadikan barang bukti menggambarkan bagaimana institusi tersebut seoalah-olah alergi terhadap segala bentuk informasi maupun ilmu pengetahuan. Kemudian, polisi ingin menempatkan buku sebagai pemicu yang menyebabkan sejumlah kerusuhan di berbagai kota. Alasan utama polisi menyita buku-buku adalah karena mengandung paham komunis dan bisa membuat orang berlaku anarkis.
Keterangan dari polisi tentu tak lebih dari sekadar lelucon dan menyesatkan. Sebagian besar buku-buku yang disita justru berbicara soal bebas dari penindasan, melawan sistem yang tidak adil dan timpang, hingga kritik terhadap kekuasaan yang tiran. Inilah penyebab jika menilai atau memahami buku hanya lewat judul atau cover semata, tanpa membacanya secara keseluruhan. Namun, jika tidak demikian, tentu bukan polisi namanya.
Sejarah Kelam Yang Berulang
Razia maupun penyitaan terhadap buku-buku yang dicap sebagai “buku komunis” maupun “buku anarkis” bukanlah hal yang pertama kali terjadi di era Reformasi. Dalam beberapa kesempatan di momen aksi demonstrasi, Negara— melalui tangan institusi kepolisian selalu membangun narasi palsu, ketakutan, serta memberikan stereotipe negatif terhadap buku-buku. Hal ini sangat disayangkan karena terjadi di era yang seharusnya menjamin keterbukaan informasi.
Kemudian, menjadikan buku sebagai simbol kejahatan/kekerasan juga bertentangan dengan amanat UUD 1945, yaitu soal mencerdaskan kehidupan bangsa. Suatu bangsa atau peradaban hanya dapat tercerahkan dan tercerdaskan jika memiliki keakraban dan kedekatan dengan buku-buku. Jika Negara melakukan tindakan yang bertolak belakang, maka terdapat dua kemungkinan.
Pertama, Negara tidak ingin memiliki rakyat atau warga-negaranya tercerahkan maupun tercerdaskan, sehingga dipersulit akses warga dalam meraih informasi atau pengetahuan melalui buku-buku. Kemungkinan yang kedua, jika rakyat memiliki kecerdasan dan nalar kritis, Negara akan melihat itu sebagai ancaman nyata terhadap kekuasaan yang sedang dijalani.
Oleh karenanya, hanya kekuasaan yang tiran dan koruplah yang takut dan panik melihat rakyatnya yang mampu bernalar secara kritis dan cerdas. Rakyat yang cerdas pasti mengetahui apa saja hak-hak yang dimiliki olehnya; rakyat model begini tidak akan mudah ditipu dengan riasan gemoy, makanan yang katanya bergizi dan gratis, maupun termasuk narasi antek-antek asing.
Apa yang sedang terjadi belakangan ini mengingatkan kita pada sejarah kelam masa lalu di masa Soeharto atau rezim Orde Baru. Pada masa itu, ada banyak buku-buku yang dilarang terbit maupun beredar. Salah satu buku yang dilarang adalah karya-karya milik Pramoedya Ananta Toer.
Di masa yang kelam tersebut, membaca karya-karya milik Pramoedya Ananta Toer dianggap telah melakukan tindak kejahatan yang serius. Membaca saja tak boleh, apalagi mengadakan diskusi-diskusi ilmiah atau menyangkut persoalan sosial-politik bangsa. Hal ini nyata terjadi, bukan dongeng semata.
Negara dengan segala daya upayanya mencoba untuk mengontrol pikiran, ucapan, dan tindakan rakyatnya. Mereka memiliki ketakutan yang nyata dengan rakyat yang terorganisir dan tercerahkan. Setelah 27 tahun Reformasi, pola semacam itu kembali terulang dan membawa kita pada fase kegelapan.
Fase kegelapan itu akan membuat kita takut membawa dan membaca buku-buku di tempat umum. Jika fase itu datang, kualitas kita sebagai suatu bangsa tentu akan menurun. Tampaknya menjadi cerdas di negeri ini sangat mahal. Belum lagi upaya-upaya lain yang akan dipersulit aksesnya, baik atas nama UU maupun atas nama ketertiban.
Buku dan Imaji Tentang Kebebasan
Negeri ini pernah dikuasai oleh kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat. Namun, para pemikir, seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir mampu membebaskan bangsanya yang diawali dengan perjumpaan dengan bacaan-bacaan para pemikir dari Barat maupun Timur. Perjalanan intelektualnya itulah yang membuat mereka memiliki imaji tentang kemerdekaan dan kebebasan.
Sukarno, Hatta, Sjahrir, atau mungkin tokoh-tokoh lainnya, seperti Tan Malaka menjadikan buku sebagai alat untuk mempertajam pikirannya. Tanpa generasi seperti mereka, mungkin bangsa ini tak pernah merasakan kemerdekaan dan memilih hidup dalam pangkuan penjajahan bangsa asing.
Mereka adalah generasi yang tercerahkan dan tercerdaskan. Oleh sebab itu, mereka tak disukai oleh kekuasan yang korup pada masa itu. Hal tersebut membuat mereka diasingkan, dikejar, hingga dijebloskan penjara. Meskipun dalam kondisi demikian, mereka masih tak dapat dijauhkan dari buku-buku.
Sedikit berbeda dengan situasi yang sekarang. Negara lagi-lagi mencoba untuk mengontrol dan “mempidanakan” isi pikiran atau imaji kita tentang Indonesia yang lebih baik dan “baru”. Praktik penyitaan buku menggambarkan Negara coba mengatur soal selera bacaan warga. Yang sesuai dengan selera penguasa tentu akan diijinkan dan sebaliknya.
Aneh memang, bangsa yang konon katanya besar takut dengan buku-buku bacaan. Padahal, buku-buku tak lebih dari sekadar tulisan-tulisan dan benda mati semata. Di samping itu, Negara seolah tak cukup melakukan kekerasan terhadap fisik, ia juga mencoba untuk melakukan kekerasan terhadap alam pikir warganya.
Editor
