Kontroversi dan Urgensi RUU Haluan Ideologi Pancasila

Oleh : Farco Siswiyanto Raharjo.

Publik di kejutkan dengan munculnya pembahasan Rancangan Undang – Undang Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rancangan undang-undang ini memicu kontroversi di tengah masyarakat karena di anggap berpotensi untuk mengkebiri pancasila sebagai ideologi Negara dan melemahkan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Rancangan undang-undang ini melupakan konsiderannya yakni Tap MPRS 25 tahun 1966, ini penting untuk mencegah paham komunisme berkembang di Indonesia. Selain itu, secara filosofis pancasila merupakan “Philosophische Grondslag” dalam membentuk dasar Negara Indonesia.

Secara historis, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berkata bahwa kita perlu mewujudkan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bangsa. Beliau menyampaikan sebuah usulan pada sila pertama adalah nasionalisme, kemudian sila kedua internasionalisme dan perikemanusiaan yang mana sebagai representasi bahwa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari bangsa bangsa lain, sila ketiga mufakat atau demokrasi, sila ke empat adalah kesejahteraan sosial dan sila kelima adalah Ketuhanan yang maha esa.

Kemudian Soekarno mengatakan melalui pidatonya yang diucapkan “apabila tuan tuan tidak sepakat dengan lima sila, maka dapat di peras menjadi tiga yakni sosiodemokrasi, sosionasionalisme, dan ketuhanan. Kemudian apabila tidak suka dengan angka tiga maka bisa di peras lagi menjadi satu yakni ekasila yaitu gotong – royong.” Pada akhir pidatonya, Soekarno tetap mengembalikan usulannya pada pancasila yang terdiri dari lima sila. Kemudian usulan tersebut dibahas melalui rapat panitia Sembilan termasuk Soekarno sebagai salah satu pencetusnya.

Kembali dalam pembahasan RUU HIP. Sebenarnya sudah tepat pada pasal 3 di sebutkan bahwa pancasila sebagai unsur pokok. Namun di dalam pasal 6 ayat 1 dan 2 muncul diksi yang membahas tentang trisila dan ekasila. Diksi ini semakin memunculkan kontroversi yakni pada pasal 6 ayat 1 disebutkan tentang trisila yang hanya menyantumkan kata nasionalisme, bukan nasionalisme dan kebangsaan. Hal ini menimbulkan terjemahan bahwa pancasila menjadi sempit. Dalam pidato Soekarno pada 1 juni 1945 rumusannya adalah nasionalisme dan kebangsaan. Ketika hanya menggunakan “Nasionalisme” saja, maka menjadi dimaknai dengan sempit. Misalkan sebatas nasionalisme maluku, nasionalisme sumatra, nasionalisme jawa.

Hadirnya RUU HIP mengejutkan publik di masa pandemi Covid 19. Selain itu muncul perspektif publik sebagai kepentingan politik menjelang 2024. Seperti yang dapat di lihat bahwa, sejak dulu persaingan antara kelompok nasional dan kelompok agama menjadi hal yang lestari. Maka hadirnya RUU ini harus tersosialisasi dengan baik. Terutama kepada kelompok agama supaya dapat di pahami dengan kompleks. Kemudian kita ketahui bahwa idiom-idiom trisila dan ekasila identik dengan klaim salah satu partai politik sebagai cirinya. Hal ini yang kemudian menimbulkan persoalan pada beberapa kalangan masyarakat.

Seperti yang dapat di ketahui bahwa penyusunan undang-undang syarat akan kepentingan politik. Perlu di telaah kembali seberapa urgensi penyusunan RUU HIP. Kemudian apa dampak positif dari penyusunan RUU ini bagi kepentingan publik. Ketika RUU ini kemudian di sahkan menjadi Undang-Undang perlu dicermati potensi apa yang akan terjadi. Termasuk kemarahan beberapa kalangan masyarakat yang tidak sepakat dengan pengesahan rancangan undang-undang ini.

Hadirnya RUU HIP di jadikan alasan untuk memayungi BPIP dalam menjalankan tugas menjaga pancasila. Jika hal itu menjadi alasan, maka tidak lantas RUU HIP sebagai satu satu nya solusi. Bisa dilakukan dengan mengubah peraturan perundang-undangan lain. Jangan sampai merubah sesuatu yang sudah menjadi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama ini masyarakat telah tenang menjalani hidup menggunakan pancasila sebagai dasar Negara.

Memunculkan sesuatu yang kontroversi kita tidak dapat menyalahkan pihak yang menolak maupun yang menyetujui rancangan undang – undang ini. Perlu di sadari bahwa masyarakat memiliki berbagai pandangan terkait ideologi. Perlu di selidiki kembali bahwa undang – undang baru bukan satu satunya solusi. Terlebih penting dan terlebih baik adalah mensosialisasikan nilai nilai yang terkadung dalam pancasila untuk lebih di masyarakatkan.

Merubah dasar yang sudah puluhan tahun telah melekat ditengah masyarakat bukan sesuatu yang praktis dilaksanakan. Terlebih hal ini menyangkut dasar Negara yang mana menjadi komponen penting bagi kehidupan masyarakat. Tidak tepat memaksakan hanya demi kepentingan politik praktis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *