Menakar Payung Hukum Penundaan Pilkada Serentak 2020 Akibat Pandemi COVID 19

Oleh : Farco Siswiyanto Raharjo

Corona Disease Virus 19 atau biasa dikenal dengan Covid19 melanda hampir sebagaian besar wilayah Negara yang ada di dunia. Termasuk dinegara Indonesia. Per tanggal  April 2020 terkonfirmasi lebih dari angka 6000 orang. Setiap hari terus mengalami peningkatan. Berbagai sector strategis turut terdampak dengan adanya pendemi covid19. Dari resesi ekonomi, social, pendidikan bahkan sampai sector politik. Agenda politik turut terdampak diantaranya adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang ikut tertunda.

Pilkada serentak 2020 sudah disepakati ditunda pelaksanaannya dalam rapat kerja di Komisi II DPR RI bersama Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP, tanggal 30 Maret lalu. Kesepakatan itu akan ditindaklanjuti dengan paying hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai payung hukumnya.

Dari segi yuridis ada emergency power dalam penundaan pelaksanaan Pilkada.alternatif penerbitan perppu sudah memenuhi tiga syarat dari makhamah konstitusi yaitu pertama ada situasi yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, kedua norma hukum yang ada tidak memadai atau terjadi kekosongan hukum dan ketiga memberikan kepastian hukum. Saat ini yang menjadi landasan hukumnya masih pada Peraturan KPU Nomor 179/PL02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaaan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal itu sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Meskipun penerbitan peraturan KPU tersebut merupakan bentuk diskresi hukum. Dalam perspektif sosial dan politik keputusan itu sangat legitimated yang secara substantif mengakomodasi dinamika sosial kebangsaan. Peraturan KPU tersebut bersifat teknis. Untuk memperkuat bangunan yuridis maka perlu didahului regulasi strategis, yakni melalui penerbitan perppu.

Secara filosofis, penundaan pilkada ketidaknya berdasarkan pada empat hal yaitu :

1. Kebijakan pemangku kebijakan / stakeholder terhadap rakyatnya yang berdasarkan pada kemaslahatan.

Pemangku kebijakan / stakeholder memiliki fungsi dan tanggung jawab kepada kepentingan publik. Dalam hal ini adalah kepentingan masyarakat luas. Salah satunya terkait dengan penundaan pilkada. Stake holder / pemangku kebijakan sebaiknya segera mengambil keputusan yang bersifat teknis maupun strategis. Menjadikan perppu sebagai alternative atau melakukan revisi terbatas undang undang 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sehingga tidak hanya sebatas kesepakatan bersama melalui rapat.

2. Memelihara kelangsungan hidup masyarakat dari aspek kepastian hukum.

Penundaan Pilkada sebaiknya mendapatkan kepastian hukum melalui penerbitan regulasi dalam bentuk perppu atau revisi terbatas UU No 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dengan ini lembaga penyelenggara pemilu mendapatkan kepastian hukum dalam melaksanakan keputusan strategis maupun keputusan teknis. Selain itu masyarakat secara luas memiliki hak untuk mendapatkan sosialisasi regulasi tersebut.

3. Menghindari kemungkinan hal buruk yang terjadi berkaitan dengan masyarakat.

Penundaan pilkada secara filosofis memiliki tujuan salah satunya menghindari potensi buruk yang terjadi pada masyarakat. Terutama pada saat pandemic covid 19 yang terjadi di Indonesia. Keadaan ini memiliki dampak pada berbagai sector baik baik sector ekonomi, pendidikan, social, hingga kondisi psikologis masyarakat. Sehingga perlu adanya informasi yang jelas kepada masyarakat berkaitan dengan penundaan pilkada serentak. Saat ini yang lebih diutamakan adalah penyelamatan masyarakat dari paparan covid 19 serta menjamin kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.

Jika pilkada serentak dipaksakan berlangsung dalam waktu dekat akan berpotensi memunculkan permasalahan baru. Salah satunya potensi bertambahnya korban terpapar covid19 akan semakin besar, potensi chaos, bahkan terancamnya stabilitas politik. Tidak tertutup kemungkinan akan terdapat provokator yang memanfaatkan situasi.

4. Sebagai upaya menyelamatkan rakyat.

Dibalik kesepakatan pemerintah dan lembaga Negara terkait dengan penundaan pilkada terdapat misi untuk menyelamatkan rakyat. Supaya masyarakat luas tidak terpapar covid19 maupun sebagai upaya menjaga stabilitas politik secara lokal dan juga nasional. Penyelenggara pemilu juga akan lebih memiliki kesempatan untuk mempersiapakan segala tahapan secara lebih matang.

Akan tetapi sampai saat ini, perppu penundaan pilkada serentak 2020 tersebut belum juga diterbitkan. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaksanaan Pilkada serentak 2020. Perppu tersebut diharapkan lebih cepat terbit, sehingga semua pihak bisa fokus menangani wabah covid-19.

Penulis menganalisa ada alernatif lain yang bisa dilakukan sebagai payung hukum terkait penundaan pemilihan kepala daerah serentak. Yaitu dengan melakukan revisi terbatas. Apalagi DPR RI memperpanjang masa reses pada saat ini. Sehingga memungkinkan untuk revisi terbatas UU Nomor 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, terkait dengan penundaan pilkada serentak.

Menurut UU 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memang menyediakan mekanisme penundaan pilkada berupa pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan namun kedua mekanisme itu sama-sama menggunakan pendekatan penundaan secara parsial, berbasis daerah per daerah.

Pemilihan lanjutan dilakukan dalam hal sebagian atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan.

Sedangkan pemilihan susulan terjadi apabila di suatu wilayah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Penetapan penundaan pilkada dalam skema pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan dilakukan secara berjenjang, dari bawah ke atas, oleh masing-masing KPU di daerah. Penerbitan Perppu atau revisi terbatas perlu segera dilakukan karena diperlukan bagi legalitas dan legitimasi penundaan pilkada. Mengandalkan Keputusan dan Surat Edaran KPU sama sekali tidak cukup. Selain tidak dikenal nomenklatur hukum “penundaan pilkada secara nasional oleh KPU”, hal itu juga sangat rentan digugat di kemudian hari apabila ada pihak-pihak yang tidak puas dan mempersoalkannya.

Keputusan taktis dan strategis ini perlu segera dieksekusi oleh pemangku kebijakan. Akankah menggunakan alternative penerbitan perppu oleh presiden atau menggunakan revisi terbatas oleh DPR RI. Sehingga penyelenggara pemilu segera memperoleh kepastian payung hukum.

Rekomendasi untuk pemerintah dan lembaga Negara terkait dengan penyelenggaraan pemilu adalah dapat memilih dua opsi. Pertama revisi terbatas UU No 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPR RI terutama terkait dengan revisi pasal penundaan pilkada serentak yang disebabkan oleh keadaan darurat nasional. Apabila DPR RI tidak sanggup mengagendakan revisi terbatas, pemerintah perlu menerbitkan perppu penundaan pilkada serentak sebagai payung hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *