Meneropong Perubahan Dunia Pasca Pandemi COVID 19 Melalui Perspektif Filsafat

Oleh : Farco Siswiyanto Raharjo.

Corona Virus Diseased 19 yang lebih dikenal dengan covid 19 menjadi perbincangan berbagai manusia dibumi. Hampir setiap perbincangan sehari-hari menyinggung tentang pandemic atau wabah ini. Mulai diwarung kopi oleh masyarakat luas, lingkungan akademis / para ilmuwan serta jajaran pemangku kebijakan pemerintahan. Perbincangan yang obyektif hingga yang bersifat intermezzo beredar diberbagai kalangan.

Covid19 juga menjadi ajang perdebatan hingga komentar oleh kalangan filsuf. Perbincangan ini dirilis oleh media lalu menjadi konsumsi publik yang memunculkan berbagai penafsiran pemikiran.

Bagi kalangan intelektual, kondisi pandemic covid 19 menjadi momentum bermain logika tentang keabsahan teori maupun pemikiran yang mereka lahirkan. Beberapa pemikiran tersebut muncul diantaranya oleh Judith Butler / filsuf gender berkebangsaan amerika, Yuval Noah Harari / filsuf berkebangsaan yahudi, Alain badiou / filsuf dan teolog berkebangsaan perancis, Slavoj Zizek / filsuf psikoanalitik berkebangsaan Slovenia, hingga Giorgio Agamben / Filsuf berkebangsaan italia.

Pada februari, Georgio Agamben yang merupakan seorang filsuf dari italia menerbitkan artikel dengan judul L’invenzione di un’epidemia (Penemuan Epidemi). Dalam tulisan tersebut agamben menuangkan pemikirannya bahwa dunia mampu menertibkan masyarakat melalui sebuah hukum penundaan. Diibaratkan masyarakat sebagai tentara yang berbaris dan menunggu intruksi dari jenderalnya yakni pemerintah. Covid19 menjadi momentum untuk membatasi sifat dasar manusia yaitu kebebasan. Kebebasan manusia terampas karena adanya pembatasan aktivitas. Pandangan agamben tersebuf nyata apabila kita meneropong kondisi saat ini, termasuk di Indonesia. Masyarakat dibatasi kebebasan aktivitas diluar rumah. Aparat diterjunkan untuk melakukan penertiban demi memutus rantai penyebaran corona virus. Keadaan ini menjadi polemic yang dinamis ditengah masyarakat. Masyarakat bersedia melakukan pembatasan aktivitas apabila pemerintah mampu menjamin kebutuhan dasar sehari-hari. Maka pemerintah merespon dengan mengalokasikan anggaran Negara untuk memberikan bantuan kepada masyarakat berbentuk bahan pokok maupun suntikan dana tunai. Akan tetapi menjadi persoalan adalah bantuan tersebut masih tidak semua terdistribusi secara tepat kepada yang membutuhkan. Hal ini bisa kita lihat melalui kanal media sosial yang diunggah beberapa masyarakat. Mereka menunjukkan keresahan atas distribusi bantuan yang tidak tepat sasaran. Keadaan ini  dilihat dari paradigm yang ditulis oleh George Agambe yang menyebutkan bahwa masyarakat terampas kebebasannya karena pandemic corona virus.

Pemikiran George Agambe mendapat kritik dari Slavoj Zizek seorang filsuf dari Slovenia, beliau mengkritik pemikiran George Agambe tersebut hanya akan melemahkan manusia. Kritik ini dituangkan dalam tulisan berjudul PANDEMIC! : Panic Covid-19 Shakes The World. Dalam kritiknya disampaikan bahwa perampasan kebebasan hanya akan membuat sifat pesimis manusia semakin meluas. Slavoj zizek membuat metafora bahwa kondisi pandemic covid19 digambarkan sebagai Kapal Besar Nabi Nuh. Seluruh spesies umat kehidupan kini berada dalam satu kapal raksasa yang sama untuk melewati bencana besar hingga berlabuh menuju sebuah pulau.akan tetapi terhimpit oleh dua pulau, yang pertama bernama pulau bar bar, dimana didalamnya manusia menjalani pola hidup seperti alien. Seluruh manusia hanya berada dalam tempat tinggal masing masing, bekerja melalui layar komputer pribadi, berkomunikasi satu sama lain menggunakan video-call. Berolahraga menggunakan treadmill di sudut ruang tamu, bersetubuh dengan boneka sex sambil menonton film porno, serta memesan makanan menggunakan pesan antar atau Delivery Food. Akan tetapi Slavoj Zizek memaparkan terdapat satu pulau lagi yang memiliki kondisi yang berbeda, sebagai arah dan tujuan kapal tersebut. Pulau kedua ini bernama Komunisme berbasis kepercayaan publik. Di mana sistem pelayanan dan akses kesehatan terjamin, kekayaan ekonomi terdistribusi secara merata. Sehingga dapat dikatakan dunia akan lebih layak dengan satu komando universal. Membentuk tatanan dunia melalui satu sistem peraturan internasional, yang mana koordinator nya dilakukan secara global.

Pemikiran Slavoj Zizek tersebut berpotensi merampas kedaulatan Negara. Sehingga kemerdekaan suatu Negara dibawah baying bayang aturan internasional. Hal ini tidak tepat apabila dilaksanakan sebagai solusi alternative. Termasuk Negara Republik Indonesia yang menerapkan politik luar negeri bebas aktif.

Pemikiran yang teruntai ditengah dua ketegangan filsuf Slavoj Žižek dan Giorgio Agamben pada dasarnya memiliki titik beranjak dari unit analisis yang sama. Keduanya tsepakat untuk menggunakan unit analisa seorang penulis bernama Naomi Klein tentang Kapitalisme Bencana dalam merespon pandemik Corona Virus. Bahwa Kapitalisme melancarkan shock theraphy sebagai doktrin yang tersebar di tengah kepanikan masyarakat untuk mengumpulkan pundi-pundi laba mereka. Argumentasi Naomi Klein sebagai seorang aktivis sosial dari Canada berangkat dari sebuah penelitian ekonomi terhadap bencana kemausiaan yang disebabkan oleh kepentingan politik minyak internasional antara amerika yang melakukan embargo kepada kilang minyak yang ada di Irak. Amerika berusaha meraup keuntungan melalui privatisasi perminyakan yang ada dikawasan timur tengah.

Hal demikian menunjukan indikasi di tengah pandemik Covid-19 bahwa akhir dunia seperti apa yang dideskripsikan oleh tesis Francis Fukuyama yakni The End of History. Sejarah dunia akan dimenangkan oleh naturalisasi kapitalisme. Mengingat pengembangan vaksin untuk mengatasi Pandemik Covid-19 sedang di uji secara klinis oleh perusahaan multinasional korporasi di bidang Tembakau yang proposalnya telah diajukan kepada Dinas kesehatan dan sosial Amerika Serikat. Dilansir dari CNBC Indonesia, perusahaan yang sedang mengembangkan vaksin tersebut yaitu Philip Morris International Inc. dan British American Tobacco Plc. (BAT) . Tentu sangat tidak menutup kemungkinan bahwa kedepan hanya orang-orang yang memiliki akses dan uang yang bisa membeli vaksin tersebut.

Keadaan coronavirus tersebut berupaya mengguncang internasional, bahkan tiongkok turut menjadi korban kematian dan paparan dalam jumlah yang besar. Beberapa media justru menyusun diksi pemberitaan yang menakutkan publik. Belum lagi informasi tidak valid yang bebas diunggah pada media sosial. Hal ini rentan dikonsumsi masyarakat yang masih awam dalam menganalisa informasi yang beredar melalui media sosial.

Alain Badiou menyampaikan implikasi yang terjadi dari corona virus ini ada beberapa otoritas trans-nasional, jelaslah bahwa negara-negara borjuis lokallah yang berada di garis depan, kontradiksi utama dunia kontemporer. Kepentingan Ekonomi sebagai tujuan proses produksi massal benda-benda yang diproduksi sebagai motif tersebut diantaranya vaksin, berada di bawah perlindungan pasar dunia yang memiliki kepentingan tersebut. Kita tahu bahwa sejauh ini perakitan sederhana ponsel memobilisasi pekerjaan dan sumber daya, termasuk yang mineral, di setidaknya tujuh negara bagian yang berbeda. Namun kekuatan politik pada dasarnya tetap bersifat nasional. Dan persaingan antara imperialisme, lama (Eropa dan AS) dan yang baru (Cina, Jepang …) tidak termasuk proses yang mengarah ke negara dunia kapitalis. Epidemi juga merupakan momen ketika kontradiksi antara ekonomi dan politik menjadi mencolok

Pemikiran Alain Badiou tersebut melihat bahwa kepentingan ekonomi dan politik sangat terlihat secara jelas dalam persaingan internasional. Sehingga Negara yang merasa memiliki power akan itu berusaha menyusun narasi global untuk menguasasi sector macro economic & political interest. Tujuannya adalah memperoleh keuntungan secara ekonomi dan memiliki pengaruh luas secara politik global.

Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat penuh diharapkan mampu mengambil kebijakan yang bersifat strategis dan teknis. Pemangku kebijakan pemerintahan harus memiliki kemampuan memandang persoalan dan memberikan solusi dengan meminimalisir resiko yang terjadi. Jangan sampai terjadi antar pejabat pemerintah memiliki salah persepsi dalam komunikasi. Seperti yang telah terjadi pada pendapat presiden, menteri terkait, bahkan juru bicara yang berbeda beda. Hal ini akan membingungkan masyarakat.

Ketegasan harus diterapkan oleh pemerintah kepada masyarakat, jangan sampai hari ini penyampaikan himbauan A kemudian besok atau lusa tiba tiba mendadak menjadi Z. keadaan tersebut menunjukkan pemerintahan yang dipercaya masyarakat mengalami kebingungan dalam mengambil keputusan yang besifat strategis.

Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan stabilisasi aktivitas masyarakat, menambah jumlah pasien yang sembuh, serta menekan angka kematian karena covid. Bukan hanya pemerintah saja, akan tetapi media harus memberikan konsumsi pemberitaan yang tidak memicu kepanikan msyarakat. Maka kedepan akan secara perlahan kondisi wabah covid akan mampu teratasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *