Oleh: Berlanta Menara Kurniyan Syah
Serangan Siber merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh para hacker dengan tujuan untuk merusak jaringan atau sistem komputer. Selain menimbulkan berbagai kerusakan, serangan siber biasanya juga dilakukan untuk mencuri data penting yang tersimpan di dalam Database Cloud. Tahun 2025 diprediksi menjadi tahun yang penuh tantangan bagi dunia siber. Dengan semakin masif dan canggihnya perkembangan teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI), serangan siber diprediksi akan meningkat dalam skala besar.
Alex Budiyanto, Founder Indonesia Cyber Security Hub, dalam wawancara di acara Tech A Look CNBC Indonesia, mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman serius akibat lemahnya regulasi dan minimnya kesadaran keamanan siber di berbagai lini. Alex menyoroti bahwa saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa regulasi terkait, seperti Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Namun, upaya lebih lanjut seperti Rancangan Undang-Undang Keamanan Siber (RUU Keamanan Siber) masih terhambat di DPR dan belum menunjukkan perkembangan berarti.
“RUU Keamanan Siber sudah dibahas sejak periode sebelumnya, tetapi hingga kini belum ada kejelasan. Regulasi ini sangat penting karena menjadi fondasi untuk seluruh kebijakan keamanan siber di Indonesia.” ungkap Alex. Salah satu bentuk ancaman yang paling banyak ditemui saat ini adalah phishing. Serangan ini menjadi semakin berbahaya dengan hadirnya teknologi AI, yang memungkinkan penyerang membuat pesan yang sangat meyakinkan dan sulit dikenali sebagai ancaman.
Penulis melihat ancaman siber sebagai salah satu risiko eksistensial di era digital. Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi serangan terhadap infrastruktur kritis yang bisa melumpuhkan kehidupan masyarakat. Solusinya harus komprehensif antara teknologi canggih, SDM kompeten, regulasi tepat, dan kesadaran kolektif. Setiap individu dan organisasi harus memandang keamanan siber sebagai tanggung jawab bersama, bukan sekadar urusan departemen IT. Di era digital ini, serangan siber bukan lagi sekadar teori tapi ancaman nyata yang terus berevolusi.
Yang mengkhawatirkan, serangan sekarang menggunakan teknologi mutakhir seperti AI yang bisa belajar dan beradaptasi dengan sistem pertahanan kita. Ini seperti perlombaan senjata yang tidak pernah berakhir. Banyak orang masih menganggap serangan siber hanya soal uang atau data. Padahal dampaknya bisa lebih fatal, mulai dari gangguan layanan kesehatan, lumpuhnya infrastruktur vital, hingga ancaman terhadap keamanan nasional. Teknologi keamanan terus berkembang, tapi celah terbesar tetap ada pada faktor manusia. Phishing yang tampak sederhana masih sering berhasil karena kelalaian pengguna.
Ini menunjukkan bahwa investasi di teknologi saja tidak cukup tanpa peningkatan kesadaran dan pelatihan berkelanjutan. Perkembangan teknologi jauh lebih cepat daripada kemampuan regulator membuat kebijakan. Ada ketimpangan besar antara organisasi yang sudah melek keamanan siber dengan yang masih abai. Serangan ransomware sering menyasar korban yang sistem keamanannya lemah. Kita sedang berada dalam fase dimana keamanan digital sama pentingnya dengan keamanan fisik. Ancaman ini tidak bisa dianggap remeh karena konsekuensinya bisa sangat nyata dan berdampak panjang.
Ancaman serangan siber diprediksi semakin kompleks dan masif dengan berkembangnya teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan komputasi kuantum, Ancaman seperti ransomware, phishing berbasis AI, serta serangan terhadap infrastruktur kritis akan meningkat, sementara ketergantungan dunia pada sistem digital juga memperluas permukaan serangan. Negara-negara dan organisasi harus memperkuat ketahanan siber melalui kolaborasi global, investasi dalam teknologi pertahanan mutakhir, dan peningkatan kesadaran keamanan siber di semua level untuk mengurangi risiko dan dampak yang mungkin timbul. Ancaman serangan siber semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Serangan siber tidak hanya menargetkan individu, tetapi juga perusahaan, pemerintah, dan infrastruktur kritis. Hal ini menunjukkan bahwa keamanan siber harus menjadi prioritas utama. Kesadaran dan edukasi tentang keamanan siber sangat penting. Banyak serangan siber terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang cara melindungi diri dari ancaman seperti phishing, malware, dan ransomware. Oleh karena itu juga, pelatihan dan edukasi tanteng keamanan siber harus dilakukan secara rutin.
Narasi ini cenderung bersifat repetitif dan terlalu berfokus pada aspek teknis (seperti AI dan kuantum) tanpa menyentuh akar masalah seperti ketimpangan kapabilitas siber global, lemahnya regulasi internasional, atau minimnya investasi dalam kesadaran keamanan dasar. Selain itu, skenario ancaman sering dibesar-besarkan untuk kepentingan vendor keamanan siber yang mendorong solusi berlebihan, sementara banyak organisasi justru gagal mengamankan sistem lama yang rentan. Pendekatan reaktif berbasis teknologi juga mengabaikan faktor manusia sebagai mata rantai terlemah, serta kurangnya mekanisme akuntabilitas bagi korporasi dan pemerintah yang lalai menjaga data.
Prediksi ancaman siber juga kerap mengabaikan realitas bahwa “Faktor Geopolitik dan Ekonomi” justru lebih berpengaruh daripada sekadar kemajuan teknologi misalnya, sanksi global, perang dagang, atau fragmentasi internet dapat memicu serangan siber secara politis, bukan teknis. Selain itu, fokus berlebihan pada ancaman futuristik seperti komputasi kuantum atau AI mengalihkan perhatian dari “Kerentanan Sistem Lama” (seperti SCADA atau perbankan warisan) yang masih menjadi sasaran empuk peretas. Ada pula bias “Solusisme Teknologi”, seolah-olah masalah keamanan siber hanya bisa diatasi dengan alat canggih, padahal human error, korupsi anggaran TI, atau kurangnya pelatihan staf justru lebih sering jadi penyebab kebocoran data.
Di sisi lain, narasi ancaman yang terlalu spektakuler seperti “Perang Siber Global” dapat menormalisasi pengawasan masif (Surveillance) oleh negara dengan dalih keamanan, mengorbankan privasi dan kebebasan sipil. Prediksi semacam ini jarang menyentuh “Ketidakadilan Siber” negara berkembang dengan infrastruktur digital terbatas akan semakin tertinggal karena tidak mampu membeli solusi mahal, sementara aktor jahat memanfaatkan celah ini untuk serangan transnasional.
Serangan siber menjadi ancaman serius yang terus berkembang, terutama dengan kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI). Di Indonesia, tantangan ini diperburuk oleh lemahnya regulasi dan kurangnya kesadaran akan keamanan siber. Meskipun ada beberapa regulasi yang ada, seperti Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi, upaya untuk memperkuat kerangka hukum masih terhambat. Kesadaran dan edukasi tentang keamanan siber sangat penting, karena banyak serangan terjadi akibat kelalaian pengguna. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan komprehensif yang mencakup teknologi, faktor manusia, dan regulasi yang tepat untuk memperkuat ketahanan siber dan melindungi infrastruktur kritis.
Editor