Populisme Islam dalam Bingkai Politik di Indonesia

Oleh Farco Siswiyanto Raharjo

Secara demografi, Indonesia memiliki penduduk dengan jumlah mayoritas islam yang besar. Diolah dari beberapa sumber data, jumlah penduduk Islam di Indonesia mencapai persentase lebih dari 80 %, bahkan data terbaru menunjukkan kenaikan diangka 88%. Dengan populasi angka jumlah penduduk yang besar tersebut menjadikan kelompok islam diperhitungkan dalam konstestasi politik di Indonesia. Bahkan diera pasca reformasi, kelompok islam semakin memiliki eksistensi yang kuat. Hal ini kontras dengan masa orde baru yang mana kelompok islam terbatasi pergerakannya. Hal ini bisa dilihat dari meleburnya berbagai partai islam yang pernah terbentuk menjadi satu payung partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Setelah reformasi bergulir, kebebasan masyarakat untuk berpolitik semakin luas. Partai islam bermunculan sebagai wujud eksistensi politik bagi kelompok islam. Partai tersebut antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Kemudian dari sisi organisasi massa yang berbasis islam terus mengalami pergerakan dan perkembangan yang masif pasca reformasi. Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama (NU) masih menjadi yang popular. Kemudian semakin berkembang organisasi islam lainnya seperti LDII, MTA, DDII, DMI, FPI, FDII dan lain sebagainya.

Semua itu tidak lepas dari populasi umat islam menjadi yang terbanyak di Indonesia. Sehingga mereka mampu menggalang kekuatan secara massa dalam tempo yang singkat. Sebagai contoh kegiatan yang diwadahi Aksi Bela Islam, GMPF, hingga Alumni 212. Sehingga dalam perpektif sosiologi politik dikaitkan dengan istilah populisme islam.

Ilmuwan-ilmuwan sosial memiliki kesepakatan bahwa ciri umum populisme adalah sebagai ideologi politik yang menggalang massa untuk melawan elite (the people versus the elite). Dari definisi umum ini, ilmuwan-ilmuwan sosial cenderung menambahkan ciri-ciri khusus untuk mendefinisikan populisme.

Vedi R Hafiz seorang ilmuwan sosial dari Indonesia yang merupakan Direktur dan Profesor Studi Asia di Asia Institute serta Asisten Wakil Rektor Internasional, University of Melbourne Australia menjelaskan bahwa populisme islam di Indonesia cenderung bersifat konservatif, dan juga lebih banyak bunyinya daripada isinya. Berbeda dengan Turki, yang secara lebih utuh mempersatukan elemen-elemen masyarakat yang berbeda lewat bahasa politik Islam. Mereka mampu merangkul sebagian kelas pemodal, terutama dari daerah Anatolia yang sebelumnya kalah bersaing dengan pemodal Istanbul.

Indonesia menjadikan kelompok menengah sebagai pijakan, bukan kelas pemodal besar yang mewakili kepentingan mereka. Kemudian antar kelas sosial yang hadir dalam bingkai politik populisme islam di Indonesia terdiri dari berbagai lapisan yang inheren. Sehingga berpotensi menjadi mainan kalangan oligarki untuk suatu kepentingan sesaat.

Belum tentu ketika kepentingan politik tersebut menang, populisme islam akan di libatkan seterusnya oleh aktor politik. Sebagai contoh ketika Prabowo subianto masuk dalam lingkaran pemerintahan Joko Widodo seakan kelompok Alumni 212 tidak lagi mendapatkan perhatian.

Narasi yang dipergunakan dalam populisme islam adalah mewakili umat yang sama dengan kelompok tertindas sejak zaman kolonial hingga masa awal kemerdekaan, hingga masa Orde Baru dan zaman  demokrasi sekarang. Sehingga ada peerasaan kesamaan nasib sebagai kelompok yang termarginalkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Diksi yang dibangun diantaranya adalah kriminalisasi ulama, penistaan agama dan sejenisnya.

Menurut studi yang dilakukan Vedi R Hadiz dalam gerakan populisme Islam motivasi kepentingan kelompok justru lebih bisa melahirkan kekuatan politik Islam dari pada ideologi atau bahkan ajaran agama itu sendiri.

Kemunculan populisme Islam adalah suatu bentuk protes atas terjadinya kesenjangan struktur ekonomi kapitalisme. Populisme Islam menjadi sebuah alternatif untuk membenahi kondisi keterpurukan tatanan ekonomi politik sekaligus berfungsi sebagai alat untuk bisa mendapatkan sumber daya dan kekuasaan.

Hadiz mengatakan bahwa terdapat dilematis besar dalam populisme yang menarik, yakni tentang stratifikasi dalam populisme islam, diantaranya terbagi atas kelas menengah terdidik, kelompok miskin dan borjuis. Representasi kelompok borjuis bisa menjadi penentu populisme tersebut. Apabila alpha maka populisme tersebut tidak terwujud. Pada akhirnya populisme islam tidak lebih dari sekedar pembicaraan oligarki.

Secara sederhana populisme islam sebagai bentuk oligarki baru yang tidak akan bisa hadir tanpa peran dari kelompok kelas borjuis. Konsep populisme islam hendak dibangun akhirnya membuat kebingungan baru, yaitu representasi bentuk oligarki itu sendiri. Akhirnya diketahui bahwa oligarki bermain dibalik populisme islam.

Kalangan civil society atau masyarakat sipil yang terdiri atas “umat Islam” akhirnya tidak tampak dominan. Sehingga akhirnya, populisme Islam dan oligarki sama-sama berakar dari pendektan teori elit (kekuasaan bersifat memusat).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *