Urgensi Diskresi Kebijakan Kepala Daerah di Indonesia dalam Penanganan Covid 19

Farco Siswiyanto Raharjo

Sudah masuk sebulan menuju dua bulan Indonesia dilanda pandemic persebaran corona virus diseased 19 atau biasa dikenal dengan sebutan Covid 19. Setiap hari angka Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Meninggal Dunia semakin bertambah. Bahkan saat ini terkonfirmasi pasien telah menyentuh angka lebih dari 2000 jiwa di seluruh Indonesia, ratusan jiwa sembuh dan ratusan jiwa meninggal dunia.

Pemerintah mendapatkan tantangan besar dalam penanganan Covid19 secara intensif. Mulai dari Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), Kesiapsiagaan Tenaga Medis, Ketersediaan Rumah Sakit dan Fasilitas Isolasi, Ketersediaan Stabilitas Pangan, subsidi listrik, hingga Stabilitas Ekonomi menjadi perhatian yang harus dijamin keberadaannya.

Pemerintah Pusat turut serta melibatkan kepala daerah dalam penanganan Covid 19 di Indonesia. Baik Gubernur beserta wakilnya , Walikota/Bupati beserta wakilnya, hingga pemerintah desa. Dengan harapan adanya koordinasi maupun komunikasi yang baik antara pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.

Secara kompleks pemerintah pusat tidak mampu menjalankan penanganan pandemic covid19 secara sentralisasi. Perlu desentralisasi kepada pemerintah daerah sebagai stakeholder yang mampu menyentuh keberadaan masyarakat diwilayah masing masing. Kemudian pemerintah daerah menjalankan dekonsentrasi atau tugas pembantuan sampai kepada lingkup pemerintah desa. Sehingga pola komuninkasi serta koordinasi secara bottom up dapat dilaksanakan.

Sejauh ini setiap daerah telah memberlakukan berbagai kebijakan untuk penanganan pandemic covid 19 di Indonesia. Akan tetapi timbul persoalan tentang kebijakan yang diberlakukan beberapa pemerintah daerah. Sebagai contoh beberapa kepala daerah melakukan tindakan local lockdown sebagai upaya penanggulangan covid19. Seperti Pemerintah Daerah Aceh, Tegal, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan termasuk kota Solo yang menerapkan semi lockdown.

Hal ini disayangkan dan disesalkan oleh pemerintah pusat melalui Presiden RI Ir. Joko Widodo. Dalam keterangannya menyatakan bahwa kewenangan karantina wilayah atau lock down adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.

Dari sikap pengambilan kebijakan karantina wilayah / local lockdown yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah dikenal dengan istilah Diskresi. Gayus T. Lumbuun mendefinisikan “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).”

Freies Ermessen (Jerman), pouvoir discretionnaire (Perancis), discretionary power (Inggris) atau diskresi menurut Kuntjoro Purbopranoto (1981) adalah kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkret (kasuistis). Kemudian berdasarkan Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Jadi secara umum dapat didefinisikan diskresi adalah kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera. Meskipun peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat.

Salah satu isu yang menarik adalah mengenai diskresi terkini ialah penerapan karantina wilayah yang dilakukan bukan hanya oleh kepala daerah, namun sampai pada pemerintah desa. Bahwa Diskresi sebagai Keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Diskresi dapat dilakukan dalam kondisi peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Keadaan inilah yang melatarbelakangi pemerintah daerah bahkan sampai dengan pemerintah daerah melakukan diskresi untuk menyelamatkan masyarakat wilayahnya untuk penanganan covid19.

Diskresi dapat dilaksanakan apabila tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan alasan-alasan obyektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.

Kemudian Diskresi dapat dilakukan tanpa harus memperoleh persetujuan dari atasan pejabat, apabila diskresi tersebut akan menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan daruarat, mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Pada kondisi demikian, pejabat pemerintah yang melakukan diskresi wajib memberitahukan kepada atasan pejabat tersebut sebelum penggunaan diskresi. Kemudian melaporkan kepada atasan pejabat itu setelah penggunaan diskresi tersebut.

Kepala daerah yang mengambil langkah diskresi sebagai upaya penanganan Covid19 harus berkoordinasi serta berkomunikasi dengan pemerintah diatasnya secara bottom up. Supaya tidak terjadi bias dalam pengambilan langkah diskresi. Secara etika tata kelola pemerintahan akan dipandang lebih pantas dengan adanya komunikasi tersebut.

Sering terjadi adanya penyimpangan dalam penggunaan diskresi. Pejabat pemerintah dalam hal ini kepala daerah bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang dan melampaui batas wilayah wewenangnya, penggunaan diskresi telah melampaui wewenang serta keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan menjadi tidak tepat. Ada juga penggunaan diskresi yang tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang diberikan, bahkan berpotensi melanggar AUPB. Dalam kondisi tersebut, penggunaan diskresi telah mencampuradukkan wewenang serta keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan dapat dibatalkan.

Diskresi kebijakan semestinya diberikan kepada kepala daerah dalam rangka menghadapi pandemic covid19. Hal ini supaya pemerintah daerah mampu menekan angka pasien tertular, pasien dalam pemantauan hingga menekan angka kematian akibat covid19. Secara kongkrit pemerintah daerah lebih memahami kondisi masyarakat yang ada didaerah. Sehingga apabila sewaktu waktu keadaan darurat makin terjadi. Kepala daerah dengan urgensi nya diperkenankan untuk mengambil langkah diskresi untuk menangani keadaan. Seperti pengalokasian anggaran, pemberian bantuan bagi masyarakat terdampak, maupun kebijakan taktis yang lainnya.

2 memikirkan “Urgensi Diskresi Kebijakan Kepala Daerah di Indonesia dalam Penanganan Covid 19

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *