“I can’t breathe,” teriak laki-laki berkulit hitam dengan lutut seorang polisi menginjak tanpa rasa ampun pada kepala bagian belakangnya dan tampak bahwa Ia sangat kesulitan bernafas. Itu adalah peristiwa yang tergambar dalam video singkat yang tersebar di dunia maya. Akhir-akhir ini memang jagad raya maya digemparkan oleh peristiwa yang tampak tragis. Kematian George Floyd, oleh dua petugas kepolisian tepat dipinggir jalan yang dan disaksikan oleh banyak orang pemicunya. Dalam video tampak petugas tak bergeming dan menantang dengan seruan-seruan kemanusiaan disekitarnya. Kematianpun tak terelakkan bagi seseorang berkulit hitam asal Minneapolis tersebut.
Sejurus kemudian foto-itu menyebar menjadi semacam memantik gerakan yang sangat besar. Muncul baliho-baliho bertuliskan #BlackLivesMatter# disepanjang aksi massa menggungat tindakan rasialis yang dilakukan oleh petugas kepolisian. Tersiar di berita-berita dan linimasa bahwa situasi chaos dan memicu tidakan-tindakan pengrusakan, pembakaran, dan penjarahan terjadi di sepanjang Millienapolis. Kabar tersiar, jika ini telah menjadi gerakan besar yang menjadi gegap gempita dan menjadi masalah baru dan menyeluruh keseluruh Amerika. Satu pertanyaan muncul apakah yang terjadi dengan Amerika?
Quo Vadis Demokrasi Amerika
Masih terngiang dengan jelas bahwa demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari dari diskursus ini adalah bagaimana demokrasi Amerika menjadi acuan hampir seluruh negara di dunia. Negeri Paman Sam bak menjadi negeri dongeng di tengah gersangnya peradaban pasca perang dunia. Negara yang mampu memandu dan mempin arah dunia menjadi lebih baik. Hal ini bukanlah sembarang slogan mengingat Amerika adalah negara yang mampu memberikan deskripsi pengeolaan negara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Setali tiga uang, menjadi lokomotif pembangungunan peradaban yang penuh asasi dalam kehidupan dunia.
Setelah Abraham Lincoln dan mendengar pidato berjudul I have a dream yang disampaikan oleh Martin Luther King rasanya akan sangat sulit mendengar isu rasialisme akan bergema di penjuru Amerika. Faktanya kini muncul isu itu bak petir di siang bolong, meskipun ini bukan pertama kalinya. Namun, hal ini adalah kulminasi dari gesekan-gesekan identitas yang terus mengemuka pada akhir-akhir ini.
How democracies die dalam Levitsky barangkali menjadi ulasan yang sangat menarik. Terkait bagimana demokrasi liberal amerika telah melahirkan pedagog dan menjadi musuh demokrasi itu sendiri. Kebijakan-kebijakan Trump yang cenderung sangat bias demokrasi dan menonjolkan sisi ‘identitas’ menjadi hal yang kasat mata pada saat ini.
Menantang Indonesia
Lantas,bagaimana Indonesia melihat peristiwa ini?Indonesia sebagai negara demokrasi tepatnya bisa dilihat dalam argumentasi sejarah pemikiran pembentukan negara Indonesia. Dalam nilai-nilai Pancasila tentang sila ke 4 adalah dasar yang menjadikan Indonesia sebagai pilar demokrasi bahkan dunia. Hal ini kemudian teraplikasikan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan (3) sebagai pilar demokrasi. Konsekuensinya adalah tidak satupun aspek kehidupan bernegara adalah mengikuti ritme-ritme kehidupan demokrasi dan hukum.
Demokratis artinya negara bukanlah negara kekuasaan yang berdasar pada kepimpinan individu tertentu namun pada seluruh rakyat Indonesia yang memilikiki berbagai latar belakang suku dan budaya. Begitu juga dengan aspek bahwa dalam pengakan hukum yang tidak pandang bulu (presumption of innocence), penghormatan hak asasi manusia bagi seluruh rakyat Indonesia dari sabang sampai merauke, serta mekanisme korektif bagi penguasa.
Fakta mengejutkan di Indonesia yang tediri dari berbagai macam suku dan etnis menjadi tantangan tersendiri dalam mengelola negara ini. Hal ini bisa kita lihat bahwa beberapa kasus –kasus isu disintegrasi dan rasialisme misalnya pernah mengemuka menjadi fenomena politik..
Menemukan kembali budaya kultural yang mengacu pada satu pemahaman konsensus ‘Imagined Communities’ seperti yang dikatakan Ben Anderson adalah sangat penting. Di era post-truth dimana dis-informasi menjadi satu hal yang mungkin terjadi dan begitu masif dengan pendekatan ‘identitas’ maka menyadari dengan tepat bahwa bernegara tidak soal identitas semata adalah sebuah keniscayan sehingga mampu membangun gagasan kesatuan yang utuh dan mampu bertahan dalam tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara.