M. Ikbar Nariswara

Pemerintah rasa-rasanya tidak pernah berhenti dalam membuat gebarakan baru yang “menyengsarakan” rakyat. Sepanjang tahun 2024 ini, pemerintah berkali-kali membuat kebijakan yang berujung pada penolakan dari mayoritas masyarakat. Seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024 soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), Organisasi Masyarakat (Ormas) yang berhak mengelola tambang, hingga yang terakhir adalah soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 dan masih banyak lagi kebijakan yang tidak berprespektif kepada rakyat.
Namun dari semua kebijakan yang direncanakan dan ditetapkan oleh pemerintah tersebut, rasa-rasanya tidak ada perubahan signifikan yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks kesejahteraan yang dirasakan oleh Masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pemerintah telah gagal dalam bernegosiasi dengan masyarakat. Padahal sebagai seorang pejabat publik atau lebih tepatnya sebagai pelayan masyarakat. Kebijakan yang dihasilkan seharusnya dapat bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Termasuk kehidupan yang layak, mengentas kemiskinan, kenaikan indeks pertumbuhan manusia, dan pemenuhan hak-hak lainnya bagi masyarakat. Walaupun secara statistik hal-hal tersebut mengalami penurunan namun realitanya masih banyak kita temui di kot-kota besar bahkan kota-kota kecil.
Tidak adanya kebijakan yang bermuara kepada kesejahteraan terhadap masyarakat tersebut membuat masyarakat enggan percaya kepada pemerintah. Terlebih berita yang sering bermunculan di media massa adalah perilaku bejat pejabat publik. Dapat kita saksikan betapa banyaknya pejabat publik yang terjerat kasus korupsi dan dari banyaknya pejabat publik tersebut masih banyak yang tidak di proses secara hukum. Bahkan masih bisa mengikuti kontestasi pemilihan umum calon kepala daerah. Itulah potret yang terjadi di negara kita saat ini. Yang lebih parah adalah banyak pejabat daerah yang justru membangun dinasti politiknya. Bagaimana perilaku bejat pejabat publik tersebut seolah dibiarkan begitu saja oleh pemerintah
Padahal yang diinginkan oleh masyarakat adalah adanya usaha secara bersama-sama sesuai koridornya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenaikan PPN 12% yang mau tidak mau akan diberlakukan tahun depan bahkan sampai sekarangpun apa yang diinginkan oleh pemerintah dalam memungut pajak dari masyarakat tidak pernah benar-benar diketahui oleh masyarakat. Pemerintah hanya berdalih dengan argumen “untuk mendanai berbagai progam pemerintah”. Pertanyaan yang spesifik adalah program pemerintah yang mana yang dapat mensejahterakan masyarakat?
Sebuah bualan dari pejabat publik yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Kita sepakati bahwa pajak adalah kontribusi wajib yang harus dibayar oleh rakyat kepada pemerintah untuk nantinya dapat dirasakan dampaknya secara bersama-sama. Kita bisa bilang jika pajak bukan suatu yang tidak penting. Namun selain itu, rakyat ingin pajak yang ia bayarkan setiap harinya dapat memberikan dampak kepada kehidupan mereka. Dapat kita saksikan secara bersama berapa jumlah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal? Berapa jumlah orang yang setiap harinya hanya dapat makan satu hari sekali? Bahkan mungkin tidak makan! Berapa jumlah orang terlantar di sebuah bangsa yang katanya kaya raya ini? Dimana kehadiran pejabat publik tidak pernah benar-benar mereka rasakan! Apakah hal tersebut akan dibiarkan secara terus menerus begitu saja?
Tarik-Tarikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Dapat kita saksikan dimasa awal pelantikan kabinet Prabowo-Gibran, beberapa menteri terlihat ingin memperoleh anggaran yang besar bagi kementeriannya. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia misalnya, dimana Natalius Pigai merasa anggaran yang didapatkan kementerian Hukum dan HAM terlalu kecil dan tidak dapat menunjang program-programnya. Ia menginginkan kementerian Hukum dan HAM mendapatkan anggaran sebesar 20 Triliun. Termasuk Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Masyarakat yakni Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berharap mendapatkan Bantuan Sosial (Bansos) senilai Rp 100 Triliun pada 2025 mendatang. Selain itu, ada Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Menteri Koperasi, dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) juga menginginkan hal serupa.
Tarik-tarikan anggaran tersebut berimplikasi kepada pencurian pendapatan dari masyarakat melalui pajak. Ya, jika kita mau radikal secara pikiran saya sepakat dengan argumen Michael Huemer yang mengatakan pajak adalah pencurian. Sebab pajak ialah kebijakan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak pernah saya melihat pemerintah bernegosiasi dengan masyarakat mengenai penetapan jumlah pembayaran pajak. Pemerintah hanya menuntut uang dari masyarakat dengan ancaman kebijakan yang rumit terlebih negara menyewa aparat bersenjata untuk memasukan anda ke dalam penjara jika tidak membayar pajak. Seperti yang diucapakan oleh Menteri Keuangan, yaitu Sri Mulyani bahwa “bagi anda yang tidak bayar pajak jangan tinggal di Indonesia”. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa bedanya pemerintah dan pencuri? Walaupun kemudian uang dari hasil pajak dimanfaatkan untuk masyarakat hal tersebut tidak dapat merubah kesimpulan awal bahwa pemerintah sama dengan pencuri.
Apalagi jika uang yang diambil dari masyarakat tersebut digunakan untuk membiayai program yang tidak clear dari segi implementasinya. Seperti angka stunting RI yang cuma turun 0,1 persen, padahal dana puluhan triliun telah terkucur untuk program tersebut. Artinya ada problem dalam impelementasi program tersebut. Apalagi jika program yang tidak bermuara kepada kesejahteraan dan keadilan pada masyarakat maka akan berakhir sia-sia. Hal tersebut hanya akan membuat ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat. Realitasnya sumber APBN paling besar ialah berasal dari pajak yang mencapai sekitar 80%. Padahal kondisi ekonomi masyarakat sekarang ini sedang mengalami kemarau panjang. Sebab masyarakat merasa penghasilan yang didapatkan dengan yang dikeluarkan tidak sesuai bahkan lebih besar pasak daripada tiang.
Akibat dari kebijakan yang tidak melihat dari perspektif masyarakat adalah banyaknya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang pada akhirnya gulung tikar. Walaupun bangrutnya UMKM semata-mata tidak hanya karena faktor biaya pajak yang tinggi, namun seharusnya negara dapat menyesuaikan kebijakan yang sesuai dengan kondisi sekarang. Tidak hanya itu, banyak pabrik-pabrik besar yang mengurangi jumlah karyawannya bahkana ada yeng berujung pailit. Seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024 lalu. Akhirnya semakin membludaklah angka pengangguran.
Fokus Pembangunan Daerah dari Pemungutan Pajak
Pendapatan yang kecil pada akhirnya membuat masyarakat memilih untuk bekerja di kota-kota besar atau merantau ke luar negeri yang secara pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota kecil. Fenomena tersebut dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperkirakan bahwa penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan akan terus meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035. Sedangkan pada tahun 2020, jumlah populasi yang tinggal di perkotaan diperkirakan mencapai 57,3 persen dari populasi total Indonesia.
Dalam konteks tersebut, desentralisasi fiskal seharusnya berperan sangat penting dalam menunjang program-program yang berorientasi kepada pembanguann daerah. Pembangunan daerah sekarang ini hanya terfokus kepada infrastruktur transportasi, seperti pembangunan jalan, jembatan, terminal dan lain sebagainya. Pembangunan tersebut memang bukan berarti tidak penting, akan tetapi pemerintah daerah cenderung melupakan pembangunan infrastruktur yang lain seperti infrasruktur sosial atau aset fisik yang mendukung kebutuhan masyarakat, seperti kesehatan dan keahlian
Padahal dana yang terkucur dari pemerintah pusat untuk dialokasikan ke dana desa sangat besar yakni hampir Rp 2 miliar. Namun kurangnya kapasitas atau kemapuan dari pejabat daerah untuk memaksimalkan dana tersebut juga menjadi faktor penghambat sebuah daerah untuk maju. Desentralisasi yang lahir dari cita-cita reformasi nampaknya belum optimal dalam perjalanannya. Seharusnya pejabat daerah, mulai dari bupati, camat bahkan sampai kepala desa mempunyai cara berfikir holistik ataupun sikap yang malu ketika masyarakatnya mencari kerja diluar daerahnya tersebut. Terlebih sampai meninggalkan keluarga bahkan anak-anaknya dimana faktor keluarga terutama orang tua berperan penting dalam pertumbuhan anak. Namun nampaknya hal tersebut tetap kalah dengan kebutuhan ekonomi. Tak jarang bahkan ada orang tua yang pulang 5 (lima) tahun sekali demi mencari uang untuk kebutuhan keluarganya, terlebih cita-cita anaknya kelak.
Adanya layanan pengaduan yang di iniasi oleh Wakil Presiden Indonesia sekarang ini yang bernama “Lapor Mas Wapres” yang sejak layanan tersebut dibuka terdapat ratusan orang yang mengadu. Hal tersebut menandakan bahwa usaha yang awalnya untuk mendekatkan masyarakat kepada sektor pelayanan publik dengan adanya desentralisasi terbukti telah gagal dalam impelentasinya. Seharusnya pejabat daerah malu dengan adanya layanan pengaduan tersebut. Sebab pejabat daerah seperti tidak ada fungsinya jika apa-apa harus melapor ke pusat. Walaupun realitanya masyarakat selalu dihadapkan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan rumit terlebih dalam proses pelayanan publik. Hal tersebut yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah untuk memikirkan solusi terbaik, bukan malah Tarik-tarikan soal APBN.
Dari sini terlihat bahwasanya sebuah kebijakan pasti saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Pembangunan infrastruktur sosial di daerah tidak hanya akan berdampak kepada pendapatan semata, namun juga dapat merubah perilaku masyarakat seperti saling menghargai satu sama lain, pendidkan yang layak, melek huruf, kesehatan dan tentunya harapan hidup masyarakat. Pembangunan daerah dapat mencapai optimalisasi semata-mata memang tidak hanya kerjaan pejabat daerah, namun juga partisipasi masyarakat setempat. Bagaimana kemudian masyarakat secara bersama-sama mendorong pejabat daerah untuk lebih memperhatikan mereka. Terlebih soal mendorong transparasi mengenai anggaran yang dikeluarkan.
Dengan begitu kepercayaan masyarakat kepada pejabat daerah merupakan modal yang penting dalam upaya pembangunan daerah. Daripada mengambil pajak yang besar dari masyarakat namun masyarakat tidak pernah benar-benar merasakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Membuat kebijakan hasil dari negosiasi antara pemerintah dengan masyarakat akan dapat menghasilkan program yang dapat di impelentasikan dengan baik. Dalam hal ini fokus pembangunan daerah menjadi penting, terlebih pajak yang dikeluarkan akan sebanding dengan apa yang mereka rasakan.