Oleh : Adven Lintang (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Slamet Riyadi Surakarta)
Apa yang terjadi ketika tempat yang kita tinggali (dalam pengertian luas bisa; daerah, wilayah hingga negara) selama ini menggalami sebuah situasi yang dimana cukup rumit, membingungkan, absurd, menyerupai mimpi buruk hingga dapat dikatakan berujung ke arah surealis?, tentunya membuat kita sangat tidak nyaman untuk hidup maupun tinggal disana. Namun apakah dari kalimat diatas tersebut dapat benar-benar terjadi? – jawabannya “iya” ini dapat terjadi. Fenomena tersebut dinamakan sebagai Kafkaesque, sebuah fenomena yang lahir dari sebuah karya sastrawan yang bernama Franz Kafka, karya-karyanya yang menjadi pelopor lahirnya istilah Kafkaesque diantaranya ialah Metamorphosis (1915), The Trial (1925) – para pembaca buku tersebut meyakini bahwa teori ini berangkat dari kedua karya tersebut, mengapa? Karena dari kedua karya tersebutlah, kita mendapatkan dua poin penting yakni; konsep alienasi/atau keterasingan dan juga birokrasi.
Lalu mengapa kaitannya dengan keterasingan serta birokrasi?, karya – karya milik Kafka sering kali melibatkan beberapa tokoh yang berakhir terjebak pada situasi yang rumit akibat dari birokrasi tersebut. Dalam buku Metamorphosisnya, Kafka juga seolah-olah memberikan kita sebuah gambaran bagaimana jika seorang individu keberadaannya tidak dianggap sama sekali; tidak dianggap ada oleh teman, tidak dianggap ada oleh orang lain, tidak dianggap ada oleh keluarga, bahkan terkadang keberadaan kita tidak dianggap ada oleh birokrasi itu sendiri. Hal inilah yang membuat para pembaca meyakini bahwa kedua buku tersebut memiliki keterkaitan dan bahkan benar-benar terjadi di dunia nyata kita, apalagi sangat relevan dengan zaman yang modern ini.
Kafka juga menjelaskan, dalam bukunya The Trial, ia menjelaskan dimana sang tokoh utama yaitu Josef K yang bekerja sebagai kepala kasih sebuah bank ditangkap oleh dua orang petugas keamanan yang sangat misterius namun, anehnya mereka (orang yang menangkap Josef) tidak mau memberi tahukan mengenai kejahatan apa yang telah ia lakukan dan tuduhan apa yang ditujukan kepadanya. Dalam bukunya Kafka menulis; “Seseorang pasti telah membuat tuduhan palsu terhadap Josef K., karena pada suatu pagi dia ditangkap tanpa melakukan kesalahan apapun” dari tulisan yang singkat inilah kita dapat mengetahui bahwa Kafka tidak hanya membahas mengenai konsep keterasingan, birokrasi yang rumit. Namun ia juga mengajak kita untuk melihat konsep mengenai hukum yang bisa dikatakan sangat absrud.
Dengan kata lain, karya ini tidak hanya sebagai sebuah satiran saja namun Kafka juga memberikan kita sebuah gambaran mengenai apa yang sedang terjadi dengan proses hukum di negara (terutama di negara kita ini). Di dalam karyanya yang berjudul The Trial tersebut Kafka menjelaskan apa yang terjadi kepada tokoh tersebut merepresentasikan terhadap proses hukum yang sangat rusak, korup, berbelit-belit, dan bisa dikatakan, sekali lagi, sangat absurd untuk dijelaskan. Namun terlepas dari itu semua, bagi penulis fenomena Kafkaesque tidak hanya terjadi dalam ranah birokrasi saja, namun fenomena ini saja dapat terjadi dalam ranah kehidupan kita sehari-hari tentunya ini merupakan sebuah fenomena yang dilihat dari kacamata sosial.
Kafkaesque tentunya menjadi sebuah gambaran kepada kita, apa yang akan kita rasakan ketika kita dihadapakan pada sebuah situasi yang, entah dari mana datangnya, benar-benar sangat sureal – situasi yang membuat kita berkata bahwa ini ialah sebuah mimpi buruk yang nyata. Sebuah mimpi buruk yang datang di hari itu juga, di waktu itu juga, dan kita seakan-akan ingin berteriak untuk berkata; “apakah kita saat ini masih tertidur lelap dan belum dapat terbangun dari mimpi buruk ini?”. Sebuah fenomena yang dilihat oleh kedua mata kita sendiri, sebuah fenomena yang, bisa dikatakan, dapat mengguncang psikologis kita dan berakhir pada perasaan depresi yang membuat kita terkena tekanan secara mental maupun moral.
Ya, penulis dapat mengatakan; tanpa disadari bahwa fenomena ini sebenarnya sudah ada, tanpa kita sadari, dan bahkan jauh sebelum penulis menyertakan seluruh isi pikiran yang berwujud menjadi opini kedalam tulisan kalimat ini. Tentunya tulisan ini jauh dari kata ‘sempurna’ yang berarti penulis tidak luput dari yang namanya kesalahan, namun penulis akan berusaha semaksimal mungkin dalam menyertakan seluruh isi pikiran ini tanpa harus memiliki maksud tertentu kepada pihak-pihak yang terkait.
Ini merupakan contoh fenomena Kafkaesque dalam sudut pandang birokrasi, bayangkan ketika anda sedang sakit hal yang pertama kali yang anda lakukan ialah pergi ke puskemas untuk berobat bukan? Pada saat anda sudah sampai di puskemas tersebut, terlihat dengan jelas bahwa antrean di sana sangat banyak, tentunya sebagai masyarakat yang baik kita mengambil nomor antre dan tinggal menunggu kapan kita akan dipanggil. Anda tahu bahwa antrean tersebut sangat panjang maka langkah yang harus anda lakukan pastinya menunggu dengan sabar bukan? Saat itu anda melihat beberapa orang yang sudah menunggu juga sebelum anda tiba, tentunya dalam benak anda “pasti ada yang sudah menunggu lebih awal”,”pasti ada yang rumahnya jauh juga”, “pasti beberapa dari mereka mengeluhkan penyakit yang mereka rasakan pun berbeda-beda” dan masih banyak lagi pikiran-pikiran yang terlintas dalam benak anda. Namun selang beberapa saat kemudian, muncul sebuah kendaraan yang menarik perhatian anda dan orang-orang disekitar tersebut. Tidak lama, orang yang keluar dari dalam mobil tersebut ternyata seorang anak dari pegawai birokrat ataupun pejabat disana, anehnya ia tanpa ragu masuk kedalam ruang pemeriksaan kesehatan tersebut tanpa memperdulikan orang-orang sekitar yang telah menunggu lama, keanehan selanjutnya ialah anda melihat ketika bagaimana cara mereka (pegawai puskesmas) tersebut memperlakukan anak pegawai tersebut dengan spesial, berbeda dengan reaksi mereka ketika memperlakukan dan menerima orang-orang, termasuk anda, yang menunggu untuk dipanggil, seakan-akan kita merasa tidak dikenali untuk beberapa saat (terasing).
Tentunya sangat tidak adil bukan?, atau bisa penulis katakan sangat diskriminasi, padahal bukankah sebuah pelayanan publik itu tidak boleh memandang kedudukan sosial seseorang? Bukankah sebuah pelayanan publik itu melayani setiap orang tanpa harus membedakan karakteristik apa yang dimiliki oleh setiap individu (alias semua sama dan adil)?. Apakah ini aneh?; Ya sangat aneh, apakah ini tidak adil?; Ya memang betul ini tidak adil – namun tidak perlu dipungkiri bahwa fenomena ini sering terjadi dibeberapa wilayah maupun daerah tertentu.
Lalu contoh berikutnya; di siang hari, anda berbaring di kursi ruang tamu untuk melihat sebuah berita yang akan diberitakan di televisi, kebiasaan ini menjadi sebuah rutinitas bagi anda sebelum melanjutkan aktivitas selanjutnya. Pada saat itu berita yang anda lihat menyiarkan tentang seorang maling ayam yang tertangkap warga dengan kondisi dihakimi massa hingga babak belur yang sangat luar biasa, tentunya dalam benak anda sangat senang karena orang yang melakukan tindakan pencurian hingga korban mengalami kerugian akhirnya berakhir sudah di tangan warga dan di tangan para penegak hukum. Keesokan harinya, berita kembali menyiarkan tentang putusan hakim mengenai nasib dari maling ayam tersebut, vonis dibacakan, dan hakim menyatakan bahwa maling ayam tersebut di vonis sekitar 2 Tahun.
Mungkin kita sebagai pembaca berita tersebut akan merasa senang karena kasus tersebut telah usai dan putusan tersebut dianggap adil – namun, pada saat itu anda melihat saluran televisi lainnya yang dimana; berita menyiarkan mengenai penangkapan terduga koruptor yang merugikan negara hingga triliunan. Namun ketika anda mendengarkan dan melihat berita tersebut dengan saksama , seketika ekspresi kekecewaan yang sangat mendalam muncul yang dimana hakim memvonis pelaku tersebut dengan hukuman 2 tahun penjara, sama seperti vonis pelaku maling ayam tersebut – yang awalnya anda percana dengan aparat penegak hukum di negeri ini seketika hancur dengan kekecewaan yang dimana vonis tersebut dianggap tidak adil.
Dan yang lebih tidak adilnya ialah; cara mereka memperlakukan kedua tersangka tersebut (baik itu koruptor maupun maling ayam) yang dimana tersangka pertama (maling ayam) diperlakukan dengan cara kondisi babak belur, penuh luka, intimidasi, hingga penghakiman massa. Sedangkan tersangka satunya lagi (yaitu sang koruptor) ditangkap dengan cara dijemput dan bahkan masih dapat tersenyum dengan sorotan kamera media massa tersebut. tentunya setelah melihat dua kejadian tersebut didepan mata anda, walaupun melalui pihak ketiga yaitu: Televisi, pastinya akan memunculkan keraguan dalam diri anda mengenai ‘sistem peradilan hukum’ di negara ini. Tentunya kedua kasus tersebut sama seperti apa yang dialami oleh sang tokoh utama yakni Josef K., yang dimana kita disini mendapatkan kesimpulan yang sama yakni mengenai ‘Keadilan itu sendiri’. tentunya hal pertama mengenai Josef K., ia merasa orang yang menangkap dia sangatlah tidak adil karena ia merasa ini merupakan tuduhan palsu yang dilontarkan kepada dia sehingga ia ditangkap begitu saja tanpa mengizinkan Josef K.
Untuk mengetahui apa kesalahan yang telah dibuat olehnya sedangkan hal kedua mengenai maling ayam dan koruptor ialah bagaimana cara sistem peradilan hukum tersebut memberikan vonis kepada tersangka dari kelas menengah kebawah dengan kelas atas, dan juga terkadang jika kita melihat ke realita yang ada tentunya pemberian putusan sangat lah tidak adil, mengapa? Karena maling ayam divonis sangat cepat di hari dan di waktu itu juga sedangkan para penjahat kaum elite ketika diberi putusan pastinya sangatlah berbelit-belit, apa maksudnya? – maksudnya ialah; kadang saat proses persidangan sang terdakwa berhalangan hadir dengan berbagai alasan, ada kalanya persidangan tersebut dilanjutkan hari berikutnya dan terkadang persidangan ditunda. Apakah fenomena ini benar-benar terjadi di kehidupan realita kita? Tentunya akhir-akhir ini beberapa berita yang disiarkan di televisi saat ini cukup relevan dengan contoh diatas mengenai kasus dan juga bagaimana cara sistem peradilan kita saat ini memvonis tersangka tersebut, memang kita sering berkata: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas – namun bagaimanapun juga begitulah realitanya.
Namun akan memunculkan sebuah pertanyaan dari para pembaca, apakah fenomena Kafkaesque ini hanya berfokus kepada birokrasi saja? Jawabannya ‘tidak selalu’ berfokus pada birokrsi saja namun fenomena ini bisa terjadi juga dalam lingkup sosial – kita melihat hal yang paling sederhana, contoh; ketika seorang siswa yang sebenarnya di sekolah ia tidak memiliki sebuah teman, semua teman sekelasnya pun tidak ada yang mau untuk berteman dengan dia tanpa memberikan sebab maupun alasan yang jelas – tentunya siswa tersebut merasa seperti orang asing yang berada di tengah-tengah seluruh teman sekelasnya. Lalu begitu guru mereka masuk, guru tersebut memberikan tugas matematika yang menurut mereka ialah sebuah tugas yang sulit namun berbeda dengan siswa tersebut, ia dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan mudah dan mendapatkan nilai yang tinggi. Menyadari ia mendapatkan nilai tertinggi dikelasnya teman-temannya pun mulai medekatinya, seolah-olah ingin berteman dengannya dan dengan begitu siswa tersebut ada sedikit harapan didalam dirinya.
Mulailah ketika minggu depannya guru tersebut memberikan soal matematika lagi, kali ini teman-temannya pun mulai mendekati dia, bertanya dan meminta penjelasan mengenai ‘bagaimana caranya menyelesaikan soal ini?’ dia begitu antusias dan bersemangat – namun hari demi hari dan minggu demi minggu pun ia mulai menyadari bahwa; ada yang salah dengan situasi ini, ia merasa hanya dikenal, hanya dianggap teman, dan seakan-akan hanya diakui keberadaannya saja ketika saat mata pelajaran Matematika saja sedangkan di hari lain, ia tidaklah dianggap siapa-siapa. Ini memang sangat menyakitkan, ketika seseorang terjebak didalam situasi yang sangat sureal dan tidak dapat keluar dari keadaan tersebut – ketika seseorang yang dimana terjebak didalam mimpi buruk yang sangat nyata, sebuah mimpi buruk yang dilihat dan dirasakan langsung oleh orang tersebut, ketika seseorang identitasnya nyata hanya saat jam Matematika saja. Fenomena ini benar-benar nyata dan sering terjadi, terutama; pada lingkungan pendidikan, yang dimana seorang individu manusia diakui ekistensinya hanya karena ia memiliki kelebihan pada bidang tertentu dan itu datang ketika hari dimana ada hal yang harus melibatkan kelebihan dari apa yang ia punya saja.
Selanjutnya, penulis akan mengkaitkan fenomena Kafkaesque yang dimana ini terjadi karena hubungan birokrasi dengan sosial kita – dimulai pada tahun 2025 ini, ketika dunia maya digegerkan dengan hastag #KaburAjaDulu., yang dimana berisi tentang ajakan masyarakat berbondong-bondong untuk pergi keluar negeri (dalam artian bekerja hingga hidup disana) – kita perlu menggali lebih dalam, apa yang menyebabkan hastag ini viral hingga dapat mempengaruhi seluruh masyarakat, terutama anak muda sekarang? Melihat dari keadaan sekarang yang dimana sebuah kebijakan mengenai lapangan pekerjaan yang dirasa sangat tidak masuk akal (irasional) dimana syarat kerja yang dibuat benar-benar sangat diskriminasi, berbelit-belit, hingga dikatakan absurd; banyangkan saja, kita melihat apa syarat yang bisa dikatakan diskriminasi? Tentunya mengenap ‘penampilan menarik’, apa yang salah dengan ini? Tentunya bukankah hal yang terpenting dalam pekerjaan itu ialah ‘kinerja kerja’ seseorang bukan? Mengapa harus penampilan seseorang terlebih dahulu yang diprioritaskan?
Selanjutnya mengenai batasan umur: kita perlu mengingat bahwa negara ini saja dalam menyediakan lapangan pekerjaan bisa dikatakan sangat kurang – dan hal itulah yang menjadi tantangan terberat seorang pelamar, terutama, bagi mereka yang masih Fresh Graduate, mengapa? Banyangkan saja jika seorang pelamar berjuang mencari pekerjaan hingga usia dia telah melebihi batas usia yang telah ditentukan dengan begitu seorang pelamar tersebut akan kesulitan mendapatkan pekerjaan dan yang lebih parahnya lagi ia tidak mendapatkan pekerjaan alias menganggur. Selanjutnya mengenai pengalaman, kita tentunya bekerja untuk mencari pengalaman bukan? Namun apa yang terjadi jika syarat dalam berkerja tersebut tertera ‘pengalaman minimal 1-3 tahun’ dan penerapan kalimat tersebut dapat kita lihat ketika kita melihat browsur lowongan pekerjaan – bagaimana kita bisa mendapatkan sebuah pengalaman jika pekerjaan yang kita ingin masuki tersebut menuntut kita untuk sudah mendapatkan pengalaman? – terahkir mengenai kalimat ‘mampu berkerja dibawah tekanan’ jika memang keadaannya seperti itu, apakah; ketika seseorang yang telah bekerja dibawah tekanan yang sangat besar upah yang ia dapatkan sudah setara dengan berapa banyak tekanan yang telah ia dapatkan?
Selanjutnya dalam sudut pandang birokrasi, kita seakan-akan tercekik dengan aturan maupun sebuah kebijakan yang telah dibuat. Kita bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun dengan upah yang tidak menentu atau yang lebih parahnya kadang terlambat sampai tidak sesuai, kita masih kurang dalam memenuhi segala kebutuhan kita – terlebih lagi, upah pendapatan yang kita dapatkan pun akan terpotong dengan yang namanya PAJAK. Penulis dapat berkata bahwa kebijakan mengenai pajak ini benar-benar sangat tidak masuk akal, bayangkan saja dimana segala apapun dapat dipajakkan, dengan kata lain pajak didalam pajak, dan siapa yang harus membayarnya dengan segera? Tentunya kita masyarakat menengah kebawahlah yang harus segera membayarnya.
Dengan begitu, kondisi masyarakat dapat dikatakan sangat Chaos dimana kita seolah-olah terjebak didalam mimpi buruk yang benar-benar terjadi, kita tidak dapat keluar dari mimpi buruk tersebut. Lapangan kerja yang sedikit, syarat yang tidak masuk akal, birokrasi yang diskriminasi, dan juga kebijakan yang mencekik (terutama masyarakat menengah kebawah) menjadikan beberapa dari kita depresi, beberapa dari kita tertekan secara mental didalam keadaan yang absurd dan kenyataan yang sureal. Membuat kita seakan-akan ingin berkata ‘aku tidak punya mulut, namun aku harus berteriak’ – yang dimana ketika kita berteriak pun, tidak ada seseorang yang mendengarkan teriakan kita, seolah-olah kita tidak punya mulut, namun dalam realita kita selalu berteriak, berteriak meminta tolong untuk terbebas dari mimpi buruk ini., dan jalan satu-satunya yang dapat terealisasi ialah pergi ke luar negeri.