Oleh: Layla Khusnatul Amaliyah
Sejarah punya cara tersendiri untuk berulang. Ada yang terang-terangan, ada yang samar-samar. Di negeri ini, militer dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak pernah benar-benar terpisah. Reformasi 1998 mengembalikan militer ke baraknya, mengukuhkan supremasi sipil, dan menutup pintu bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Namun, kini pintu itu perlahan terbuka lagi. Pemerintah tengah mengajukan revisi Undang-Undang TNI, yang memungkinkan perwira militer menduduki jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri dari dinas aktif.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Beberapa prajurit aktif mungkin memiliki kemampuan dan pengalaman yang relevan dengan jabatan sipil yang mereka duduki. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi yang ketat dan transpran dalam proses seleksi prajurit aktif yang akan menduduki jabatan sipil. Alasannya sederhana: militer memiliki disiplin tinggi, pengalaman strategis, dan manajemen krisis yang bisa memperbaiki birokrasi yang lamban. Bukan kali ini saja militer masuk ke ranah sipil. Orde baru membangun sistem di mana militer tak hanya mengamankan negara, tetapi juga mengatur kehidupan sipil.
Dampaknya? Birokasi yang kaku, kepemimpinan top–down, dan sistem yang sulit dikoreksi karena nyaris tak ada ruang bagi pengawasan dan kritik. Demokrasi yang kita kenal hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang untuk memisahkan kedua dunia itu. Dwifungsi ABRI menjadi doktrin yang melegitimasi peran ganda prajurit sebagai penjaga keamanan sekaligus pengelola negara. Reformasi mengubah lanskap politik Indonesia. Tentara tidak lagi diperbolehkan menduduki jabatan sipil, kecuali dalam posisi tertentu yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan. Mereka melihat disiplin militer sebagai sesuatu yang bisa membentuk kembali mental birokrasi, menciptakan tata kelola yang lebih tegas dan berorientasi pada hasil. Birokrasi yang baik bukan sekedar soal kepatuhan dan efisiensi, tetapi juga soal transpransi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Pemerintahan yang sehat tidak hanya membutuhkan kepatuhan terhadap instruksi, tetapi juga ruang bagi dialog dan perbedaan pendapat.
Di beberapa negara, militer tetap memiliki peran dalam pemerintahan sipil. Amerika Serikat misalnya, mengizinkan mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi seperti Menteri pertahanan, tetapi dengan batasan ketat. Indonesia berada dipersimpangan jalan. Namun nasi sudah menjadi bubur. Penolakan oleh elemen masyarakat tak digubris sedikitpun oleh DPR yang ada disenayan. Undang-Undang sudah disahkan, kita hanya menunggu waktu itu datang. Apakah kita akan mengikuti model Amerika yang tetap mengutamakan supremasi sipil, atau sesuai dengan prediksi kita, peran TNI justru akan bergerak ke arah yang lebih berbahaya?. Politik adalah soal momentum. Kita hanya punya waktu untuk menunggu, meskipun puluhan gugatan diajukan ke MK atas disahkannya RUU TNI.
Itulah harapan kita satu-satunya. Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam. Ia perlahan terkikis oleh kebijakan kecil yang tampaknya tidak berbahaya, hingga suatu hari kita terbangun dan menyadari bahwa sistem yang kita bangun telah berubah. Posisi prajurit di balik meja demokrasi di Indonesia saat ini tengah menjadi sorotan, terutama setelah disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang disahkan pada 20 Maret 2025. Pengesahan ini memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki posisi di kementerian dan Lembaga pemerintah tanpa harus pensiun, yang berpotensi memperkuat pengaruh militer dalam pemerintahan sipil.
Kesimpulan mengenai peran prajurit di balik meja demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun militer telah berperan signifikan dalam sejarah politik negara, keterlibatan mereka dalam arena pemerintahan sipil saat ini memunculkan tantangan baru bagi demokrasi. Apakah demokrasi mampu bertahan ditengah dominasi TNI yang semakin kuat? Atau justru kita berada dikehidupan pada saat Orde Baru! Bagaimanapun nanti, elemen masyarakat sipil tetap harus terus menguatkan konsolidasi.
Editor