Analisis Oligarki dalam Kerangka Demokrasi Indonesia (Perspektif Ekonomi Politik)

Oleh Farco Siswiyanto Raharjo.

Republik Indonesia menganut asas demokrasi dalam kerangka sistem politiknya. Hal ini terimplementasi melalui keberadaan partai politik sebagai instrumen suprastruktur politik. Perjalanan partai politik sangat panjang secara historis. Mulai partai politik yang berjumlah banyak hingga sedikit. Partai politik sebagai bagian dari suprastruktur politk berpotensi bermain pada dua kaki, yakni kelompok penekan dan kelompok kepentingan. Bisa dikatakan sebagai mesin politik penghasil pemimpin tingkat daerah hingga tingkat pemerintah pusat. Proses regenerasi kepemimpinan diIndonesia melalui proses pemilihan umum. Dimana partai politik memiliki peran sentral dalam mempersiapkan kandidat untuk duduk dikursi kekuasaan. Melalui sebuah proses demokratisasi.

Dapat kita lihat bahwa citra partai politik mengalami pasang surut dimata publik. Salah satu faktor penyebanya dikarenakan proses demokratisasi melalui partai politik adanya cengkeraman yang kuat pada internal sistem partai melalui sekelompok orang/kelompok kepentingan. Oknum partai ini menggunakan kekuatan material untuk mendominasi struktur partai, mengendalikan arah politik, dan menghalangi setiap upaya perbaikan sejak dari akar rumput. Sehingga kualifikasi / kemampuan seseorang bukan lagi menjadi faktor penting dalam melakukan penyaringan kandidat. Akan tetapi siapa yang memiliki sumber daya besar untuk mengakomodir  massa dalam jumlah yang besar pulalah yang memenangkan proses penyaringan. Hal ini kontradiktif dari segi semangat reformasi yang disuarakan ketika tahun 1998. Bahkan beberapa aktivis 1998 saat ini berada dipusaran kekuasaan. Tidak heran bahwa beberapa diantaranya juga berpotensi menjadi oligark.

Melalui sebuah buku yang berjudul Republik, Plato menamai sekelompok orang tersebut dengan sebutan oligarki, mendefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang dilakukan oleh “orang-orang serakah” yang mana sangat mencintai uang. Mereka menjadikan uang sebagai segalanya dalam hidup. Bahkan kelompok tersebut “ enggan membayar pajak” untuk kebaikan  secara bersama.

Meskipun dalam terminologi bahasa Yunani oligarki secara asal muasal kata berarti pemerintahan oleh segelintir orang, Plato menggantikannya dengan sedikit orang kaya untuk membedakan antara oligarki dari timokrasi.

Dalam buku yang berjudul International Encyclopedia of Social Sciences, istilah oligarki didefinisikan sebagai “bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah tersebut diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah). Praktik ini terjadi dalam beberapa era pemerintahan Indonesia, antara lain pada masa orde baru dan pasca reformasi.

Seperti kita ketahui beberapa sektor strategis ekonomi ketika orde baru dikuasai oleh keluarga cendana beserta orang dekat keluarga cendana. Sebagai contoh PT Citra Lamtoro Grup, PT Bimantara Grup, PT Global Mediacom, PT Humpus, PT Mandala Krida Yudha. Nusamba Group yang mengelola astra dan perusahaan angkutan udara,serta memegang saham di BCA Group, Petrokimia dan gas, hingga hotel grand hyat.

Pada pemilu Presiden tahun 2004 yang dilakukan secara langsung memerlukan biaya yang sangat besar dalam konstestasi politik nasional tersebut. Hal ini berlangsung sampai pada pemilu presiden 2019. Kita ketahui kandidat presiden prabowo subianto dan joko widodo diback up oleh beberapa pemilik modal besar dalam proses kampanye. Kubu prabowo dibantu oleh sandiaga uno sebagai pemain lama dibisnis energi, hutomo mandala putra / Tommy Soeharto, Maher Al Gardie, Hasyim Djojohadikusumo, Sudirman Said, Ferry Mursidan hingga Zulkifli Hasan. Kemudian dikubu Joko Widodo terdapat Luhut Binsar Pandjaitan, Fachrul Razi, Suadi Marasambessy, Surya Paloh, Hary Tanoesudibyo, Sakti Wahyu Trenggono hingga Jusuf Kalla.

Winter, dalam buku Oligarchy menyebut oligarki, sebagai kelompok minoritas berbasis materi yang mengarahkan kekuatan materialnya secara politis untuk mempertahankan kekayaannya dari berbagai ancaman seperti Negara, oligarki lain, masa rakyat, atau kombinasi ketiganya. Winters berpendapat bahwa ada empat jenis oligarki, yang masing-masing berupaya menjaga kekayaannya melalui cara yang berbeda. Oligarki ini dikategorikan berdasarkan sifat (pribadi atau kolektif) dan bentuk pendekatan (paksaan atau kompromi).

Berangkat dari pernyataan winter tersebut rakyat bukan dijadikan obyek untuk peningkatan kesejahteraan. Akan tetapi kesejahteraan pribadi/kelompoklah yang menjadikan output dari praktik oligarki. Ekspansi atau penguasaan sumber daya Negara dilakukan demi meningkatkan profit pribadi. Kemudian nurani rakyat yang kemudian dikorbankan. Kemudian apabila terdapat unsur rakyat yang menentang akan ditaklukkan secara pendekatan atau secara paksaan. Secara pendekatan misalnya diberikan jatah gratifikasi dan secara paksaan bisa dihukum bahkan dibuang dari Negara.

Praktek oligarki berkembang hingga konstestasi politik lokal/daerah. Kekuatan pengusaha sebagai pemilik modal tidak jarang ikut berperan dalam mendukung salah satu kandidat kepala daerah. Outputnya adalah mereka akan mendapatkan proyek apabila sudah berhasil memenangkan kandidat kepala daerah tersebut. Sehingga kepentingan kelompok dan pribadi menjadi menjadi tujuan utama. Kepentingan publik tidak lagi menjadi prioritas dalam kondisi ini.

Terdapat empat jenis oligarki tersebut adalah (1) oligarki yang berperang, seperti jendral perang. Mereka adalah oligarki yang memiliki milisi bersenjata. (2) Oligarki mafia yang bersifat kolektif yang juga bersenjata. (3) Oligarki berbentuk sultanistik yang bergerak melalui sistem koneksi pribadi. (4) Oligarki dalam pemerintahan yang bersifat kolektif dan dijalankan melalui supermasi hukum.

Robinson dan hadiz menjelaskan bahwa upaya reorganisasi oligarki di Indonesia dilakukan di bidang ekonomi dan politik. Kunci keberhasilan reorganisasi oligarki tersebut terletak pada kelenturan jaringan otoritas politik dan kepentingan ekonomi yang menopang dan mencirikan oligarki serta menjalar di dalam institusi Negara itu sendiri. Salah satu upaya bertahan hidup, jaringan oligarki memanfaatkan ruang yang disediakan oleh proses desentralisasi. Dengan didukung kekayaan material yang berlimpah, jaringan oligarki lama ini berusaha tetap menjadi kekuatan dominan di tingkat lokal. Hal itu dilakukan dengan menguasai partai politik, memainkan politik uang dan suap, serta mengerahkan aparat kekerasan non-Negara untuk menghalau segala macam ancaman.

Desentralisasi dalam bernegara ternyata terdapat kelemahan apabila tidak dilaksanakan berdasarkan kepentingan publik. Desentralisasi melalui proses otonomi daerah berpotensi memunculkan raja-raja kecil didaerah, yaitu kepala daerah. Hal ini terbukti angka penangkapan KPK terhadap kepala daerah sangat tinggi. Kembali lagi motifnya adalah ekonomi politik. Kepala daerah yang terpilih melalui proses pemilu membutuhkan biaya ekonomi yang besar ketika kampanye. Sehingga setelah terpilih lalu menyalahgunakan jabatan politik sebagai upaya menumpuk pundi kekayaan.

Dengan demikian, elemen-elemen oligarki tetap hidup dengan bentuk jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama lain dengan memanfaatkan berbagai perubahan institusi.

Zizek, kacamata formasi subyek Zizekian, dalam diri setiap subyek berlangsung reproduksi dan identifikasi simbolik oleh sebuah jaringan sumber daya yang dikenal sebagai the big other. Dalam artian, subyek (mencakup ekspektasi, orientasi politik, cita-cita, keinginan) selalu dipengaruhi oleh determinasi simbolik the big other ini. Akan tetapi, identifikasi simbolik oleh the big other tidak bersifat permanen. Subyek menurut Zizek selalu mengalami kekurangan (lack) dalam dirinya. Aspek kekurangan ini memungkinkan subyek untuk meruntuhkan identifikasi simbolik the big other dan merumuskan sebuah tatanan yang baru. Sehingga, subyek dapat mengalami emansipasi. Oligarki sebenarnya telah memainkan peran sebagai the big other. Dalam artian, oligarki menjadi sumber daya dari desain politik, ekonomi, pemikiran, ekspektasi, cita-cita, arah pembangunan, pergerakan, identitas dan pelbagai konflik kepentingan dalam masyarakat sebagai subyek. Kendatipun demikian, oligarki bukan merupakan fenomena ontologis atau tatanan simbolik yang mustahil dihancurkan. Sebaliknya, kemungkinan untuk menghancurkan oligarki merupakan optimisme yang positif karena subyek-masyarakat Indonesia, selalu dilanda kekurangan dan berupaya untuk kembali memenuhi the lack. Kekurangan ini dapat mengambil rupa dalam bentuk rasa tak puas atas kinerja pemerintah, matinya loyalitas atas para pemangku kekuasaan dan krisis kepercayaan atas meningkatnya resiko dalam negeri dalam wujud korupsi, klientelisme dalam birokrasi, dsb. Kekurangan ini kemudian menjadi pra-kondisi bagi subyek untuk senantiasa berdialektika dan membangkitkan emansipasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *