Oleh : T.H. Hari Sucahyo
Ada satu pertanyaan yang terus menggema di kepala banyak orang akhir-akhir ini: ke mana arah demokrasi Indonesia melangkah? Dua dekade lalu, kita menaruh harapan besar pada sebuah sistem yang diyakini memberi ruang bagi suara rakyat, menjamin kebebasan berpendapat, dan menghadirkan keadilan sosial bagi semua. Namun, realitas hari ini seolah menampar kesadaran kita. Demokrasi yang dulu diagungkan kini tampak rapuh, digerogoti kepentingan elite, disandera transaksi politik, dan dijalankan seperti panggung sandiwara yang hanya memoles permukaan tanpa mengubah inti permasalahan.
Kita seperti berdiri di sebuah persimpangan: di satu sisi ada cita-cita luhur tentang Indonesia yang bebas, terbuka, dan egaliter; di sisi lain ada kenyataan getir tentang bagaimana kekuasaan kerap dikendalikan oleh segelintir orang. Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang bagi keberagaman aspirasi, justru perlahan terasa sempit, penuh batas-batas tak kasat mata, dan sering kali dimanfaatkan sebagai legitimasi kebijakan yang tak berpihak pada rakyat banyak. Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar apakah demokrasi kita sehat, melainkan apakah demokrasi yang kita jalani masih menuju cita-cita awalnya, atau justru perlahan melenceng dari jalurnya.
Sejak kelahirannya di polis-polis Yunani kuno, demokrasi adalah sebuah janji kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat dalam menentukan arah masa depan mereka sendiri. Ide besar bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah gagasan yang mengguncang tatanan kekuasaan pada masanya. Memasuki abad ke-21, demokrasi tidak lagi sekadar gagasan utopis; ia telah menjadi sistem politik dominan yang diadopsi banyak negara, termasuk Indonesia.
Akan tetapi, di tengah penerimaan global terhadap demokrasi, muncul pertanyaan mendasar: apakah demokrasi benar-benar berhasil mewujudkan substansi idealnya, ataukah ia sekadar berhenti pada ritual elektoral lima tahunan? Indonesia sering disebut sebagai salah satu contoh keberhasilan transisi demokrasi. Reformasi 1998 mematahkan dominasi otoritarianisme Orde Baru, membuka ruang kebebasan sipil, memperkenalkan pemilu langsung, dan menjanjikan akuntabilitas kekuasaan. Selama lebih dari dua dekade, Indonesia merayakan kebebasan pers, desentralisasi pemerintahan, dan keterlibatan publik yang lebih luas.
Dalam praktiknya, demokrasi Indonesia kini menghadapi tantangan serius. Janji besar reformasi tidak sepenuhnya terwujud. Demokrasi kita kian terjebak dalam paradoks: prosedurnya berjalan, tetapi substansinya sering kali tersandera oleh kepentingan segelintir elite politik dan ekonomi. Salah satu tantangan terbesar demokrasi Indonesia saat ini adalah dominasi oligarki. Demokrasi semestinya menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, tetapi realitasnya menunjukkan bahwa kekuatan modal memainkan peran menentukan dalam hampir setiap tahapan politik.
Pierre Bourdieu, dengan konsep “kekerasan simbolik,” memberi kita kerangka untuk memahami situasi ini. Kekuasaan elite tidak selalu memanifestasikan diri dalam bentuk represi langsung, melainkan melalui kontrol terhadap wacana, media, dan simbol. Di Indonesia, partai politik kerap dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi yang memiliki sumber daya untuk mendanai kampanye dan membentuk opini publik. Akibatnya, suara rakyat sering kali tersubordinasi oleh kepentingan pemilik modal. Demokrasi seolah menjadi panggung sandiwara, di mana rakyat diberi kesempatan memilih, tetapi pilihan mereka dibatasi oleh kandidat yang ditawarkan oleh elite yang sama.
Kondisi ini diperparah oleh polarisasi politik yang kian tajam, terutama pasca Pemilu 2014 dan 2019. Demokrasi yang idealnya memfasilitasi dialog dan perbedaan pandangan justru berubah menjadi arena pertarungan identitas dan sentimen primordial. Politik identitas, baik berbasis agama, etnis, maupun ideologi, kerap dieksploitasi oleh para aktor politik untuk menggalang suara, sering kali dengan mengorbankan persatuan sosial. Media sosial, yang awalnya diharapkan menjadi ruang publik baru untuk pertukaran gagasan, justru sering memproduksi gelembung informasi yang memperkuat bias masing-masing kelompok.
Algoritma digital mendorong polarisasi, menciptakan ekosistem di mana fakta dan opini kabur batasnya, sementara disinformasi dan ujaran kebencian menjadi senjata politik yang efektif. Demokrasi Indonesia seakan terjebak dalam paradoks teknologi: di satu sisi, ia membuka partisipasi luas, tetapi di sisi lain, ia memfasilitasi manipulasi psikologi massa melalui big data dan microtargeting. Fenomena seperti ini semakin terlihat nyata menjelang Pemilu 2024, di mana perdebatan publik sering kali lebih ramai di permukaan ketimbang pada substansi kebijakan.
Alih-alih berfokus pada visi pembangunan, tata kelola, dan reformasi sosial, wacana publik lebih banyak dipenuhi oleh narasi personalisasi kandidat, pencitraan media, dan perang tagar di media sosial. Demokrasi, yang seharusnya menjadi arena deliberasi rasional, justru direduksi menjadi kontestasi persepsi yang dikendalikan oleh buzzer, influencer, dan konsultan politik. Ketika ruang publik dikuasai oleh logika algoritma dan kapital, keterlibatan rakyat menjadi dangkal dan bersifat reaktif.
Tak hanya itu, kualitas demokrasi Indonesia juga diuji oleh pelemahan institusi penegak hukum dan akuntabilitas kekuasaan. Reformasi menjanjikan checks and balances, tetapi kenyataannya, lembaga-lembaga demokrasi sering kali kehilangan independensi. Praktik korupsi yang melibatkan elite politik masih marak, bahkan di tubuh lembaga negara sekalipun. Publik merasakan kekecewaan ketika demokrasi gagal mewujudkan tata kelola yang bersih dan transparan.
Ketidakpuasan ini semakin memperkuat persepsi bahwa demokrasi hanya menguntungkan segelintir orang dan gagal memenuhi harapan mayoritas. Dalam situasi seperti ini, apatisme publik menjadi ancaman nyata: ketika rakyat merasa suaranya tidak berdampak, mereka perlahan menarik diri dari proses politik. Padahal, demokrasi mati bukan ketika institusinya dibubarkan, melainkan ketika partisipasi rakyat hilang.
Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi dilema dalam menyeimbangkan demokrasi dengan stabilitas nasional. Pemerintah kerap berdalih bahwa demi menjaga ketertiban, kebebasan sipil perlu dibatasi. Fenomena ini terlihat dari regulasi kontroversial terkait UU ITE, pembatasan demonstrasi, hingga penindakan terhadap aktivis. Di satu sisi, negara berargumen untuk melindungi integritas sosial, tetapi di sisi lain, praktik semacam ini sering dipandang sebagai bentuk pembungkaman kritik.
Demokrasi menjadi rentan ketika kebebasan berekspresi dianggap ancaman, bukan aset. Jika dibiarkan, demokrasi berpotensi berubah menjadi prosedur tanpa substansi, di mana rakyat hanya dilibatkan pada saat pemilu, tetapi dibungkam ketika bersuara di luar itu. Demokrasi Indonesia juga memiliki potensi besar untuk bertransformasi. Tantangan utama bukan semata-mata keberadaan oligarki atau polarisasi, melainkan minimnya kesadaran politik kritis di kalangan masyarakat.
Demokrasi hanya dapat berfungsi jika rakyat memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Sayangnya, pendidikan politik sering kali diabaikan. Kurikulum pendidikan formal jarang menekankan literasi politik, sementara informasi publik dibanjiri konten dangkal dan sensasional. Dalam kondisi ini, partisipasi rakyat menjadi rapuh, mudah dimobilisasi oleh propaganda dan isu populis jangka pendek. Padahal, inti demokrasi bukan hanya memilih, tetapi juga mengawasi, mengkritik, dan menuntut akuntabilitas.
Di tengah kompleksitas ini, muncul pertanyaan yang semakin relevan: apakah demokrasi Indonesia saat ini berjalan sesuai idealnya, ataukah ia hanya menjadi ritual simbolik tanpa substansi? Jika demokrasi dipersempit menjadi sekadar pemilu, maka ia kehilangan makna aslinya sebagai ruang deliberasi dan perumusan kebijakan bersama. Demokrasi seharusnya melampaui logika elektoral, menuju demokrasi partisipatoris yang memberi ruang bagi warga untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan publik. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan sarana memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Meski menghadapi tantangan besar, demokrasi Indonesia masih memiliki peluang untuk memperbaiki diri. Teknologi digital, yang saat ini menjadi bagian dari masalah, juga dapat menjadi bagian dari solusi jika dikelola secara bijak. Platform media sosial dapat dimanfaatkan untuk memperluas pendidikan politik, membangun diskusi publik berbasis data, dan meningkatkan transparansi kebijakan. Selain itu, penguatan lembaga penegak hukum, reformasi partai politik, dan pembatasan pengaruh oligarki menjadi prasyarat untuk memperdalam demokrasi.
Rakyat pun perlu diposisikan bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai aktor utama dalam merumuskan agenda kebijakan. Tanpa keterlibatan aktif publik, demokrasi akan terus kehilangan daya hidupnya. Demokrasi Indonesia hari ini adalah medan tarik-menarik antara cita-cita dan realitas. Di satu sisi, ada semangat kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat yang diwarisi dari semangat reformasi. Di sisi lain, ada kekuatan modal, teknologi, dan elite politik yang terus menguji batas-batas demokrasi itu sendiri.
Demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang yang menuntut kesadaran, partisipasi, dan keberanian kolektif untuk mengoreksi arah ketika menyimpang. Jika rakyat pasif dan menyerahkan sepenuhnya nasibnya kepada elite, demokrasi hanya akan menjadi nama kosong yang kehilangan makna. Namun, jika rakyat memaknai demokrasi sebagai hak sekaligus tanggung jawab, maka demokrasi Indonesia masih punya harapan untuk menjadi lebih dari sekadar prosedur, melainkan sebuah jalan untuk mencapai kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.

Editor