Dalam perspektif hukum kritis, undang-undang/regulasi atau sejenisnya merupakan produk yang tidak pernah netral. Maksud dari tidak pernah netral adalah ia selalu keluar dari hasil kepentingan politik kekuasaan. Kepentingan tersebut bukan karena ingin mewakili kepentingan masyarakat, tapi semata-mata ingin mempertahankan posisi kekuasaan. Banyaknya regulasi yang secara tiba-tiba diubah tanpa melibatkan peran masyarakat merupakan hal yang secara tidak langsung melegitimasi perspektif hukum kritis tersebut.
Raison D’etre Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) ialah ingin memperbaiki pengalaman praktik peradilan masa lalu berdasarkan HIR yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia (HAM), sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Lebih lanjut, dijelaskan pula 12 alasan mengenai persoalan yang dihadapi KUHAP saat ini. Dalam Draft Inventaris Masalah (DIM) RKUHAP dari pemerintah, terdapat 66 bagian yang diubah dan 295 bagian yang direvisi secara redaksional serta 129 bagian dengan substansi baru.
Banyaknya bagian yang diubah secara menyeluruh baik redaksional maupaun substansi menandakan bahwa regulasi sebelumnya memang sudah sangat usang dan tidak layak untuk digunakan kembali. Dalam prosesnya, Komisi III DPR RI merupakan aktor utama yang mempunyai wewenang dalam membahas RKUHAP. Sebagai produk politik dari legislasi, RKUHAP diharapkan dapat lepas dari kepentingan politik kekuasaan, hal yang dikhawatirkan ialah jika RKUHAP tersimpan mens rea kekuasaan.
Pada dasarnya, politik merupakan strategi tanpa peta. Maksud dari tanpa peta adalah tidak ada ilmu dan jalan yang pasti dalam politik, semua terjadi sesuai dengan keadaannya. Siapapun bisa berubah sampai 180 derajaat hanya dengan 1 malam bahkan 1 kedipan mata. Ada yang menyebutkan bahwa, politik ibarat bermain catur, strategi atau taktik dalam mencapai kemenanagan menjadi hal yang utama entah dengan cara apapun. Namun bagaimana jika politik dimaninkan dalam arena persidangan? Dalam hal ini, politik dimainkan dengan peta dan dengan cara tertentu. Maka KUHAP lah yang menjadi aturan cara main. Persidangan bukan lagi untuk mencari keadilan, namun ingin mencari kemenangan dan menjebloskan lawan politik.
RKUHAP memang lebih mirip dengan aturan main catur politik kekuasaan dalam persidangan. Kepolisian dan Kejaksaan menjadi bidaknya, namun jalannya bisa seperti Menteri. Hal itu meminimalkan peran hakim dalam persidangan. Sebab keduanya mempunyai kewenangan penuh dalam proses persidangan. Sebenarnya antara Draft RUU KUHAP yang di inisiasi oleh DPR dengan DIM dari Pemerintah sama-sama mengandung banyak kecacatan. Konsep dasar politik adalah tidak adanya kepastian. Siapapun bisa jadi lawan dan kawan, tergantung kondisinya. Hal itu mirip dengan RKUHAP yang dilegitimasi dengan banyaknya Pasal-pasal yang tidak objektif, seperti Pasal 55 ayat 4 huruf a yang mengatakan bahwa “Perlindungan sebagaimana dimaksud, tidak menghalangi penyidikan atau penuntutan dan dikoordinasikan dengan Penyidik atau Penuntut Umum”. Pasal tersebut jelas mengakibatkan ketidakobjektifan dan memberikan pelebaran wewenang terhadap Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam hal ini baik pelapor, pengadu, saksi dan korban dalam posisi tidak pasti, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dengan adanya aturan tersebut justru dapat dilakukan penuntutan atas ungkapannya atau pernyatannya. Tidak adanya regulasi khusus hal tersebut dapat dilakukan dalam kondisi apa saja bisa menjadi aturan main yang dipakai kekuasaan dalam arena persidangan.
Lebih lanjut, Pasal 86A menyatakan bahwa “Dalam hal pencarian tersangka, penyidik dapat meminta bantuan Media dan Masyarakat untuk memberikan informasi tentang keberadaan tersangka tersebut”. Pasal tersebut menghapus Pasal 86 yang mengatur tentang, “Dalam menetapkan tersangka, penyidik dilarangan melakukan perbuatan yang menimbulkan praduga bersalah”. Perubahan Pasal 86A justru tidak mengakomodir tujuan awal diberlakukannya pembahasan RKUHAP yaitu memberikan hak asasi kepada calon tersangka/terdakwa. Perlu diingat, penetapan seseorang menjadi tersangka harus dibukatikan minimal 2 alat bukti.
Adanya Pasal tersebut justru menjadi hal yang berbahaya, mengingat media dapat memberitakan siapapun yang menurutnya pantas menjadi tersangka. Sebaliknya, media juga bisa dijerat karena memberitakan seseorang sebagai tersangka padahal pihak yang berwenang belum mengatakan apapun. Selama ini, pemberitaan mengenai calon tersangka di media berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan baik Kepolisian atau Kejaksaan. Justru Pasal sebelumnya lebih bisa mengakomodir hak asasi manusia calon tersangka/terdakwa. Data Kontras menunjukkan bahwa selama tahun 2023-2024, Polisi melakukan salah tangkap setidaknya 23 orang korban. Hal ini tentu harus dievaluasi, mengingat kita hidup dalam era post truth, penetapan tersangka memang perlu kehati-hatian.
Lebih lanjut, Pasal 90 ayat (2) yang mengatakan bahwa “Dalam hal tertentu, Penangkapan dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) Hari”. Dasar adanya penangkapan adalah untuk kebutuhan penyidikan, penuntutan atau peradilan. Dengan tidak adanya kepastian hukum mengenai batas maksimal seseorang dapat di tangkap, hal itu berpotensi menciderai hak asasi manusia. Seseorang yang ditangkap secara otomatis akan kehilangan kebebasannya. Kebebasannya dalam melakoni aktivitas sehari-hari seperti mencari nafkah dan sebagainya. Bisa dibayangkan jika ada salah penangkapan terhadap seseorang padahal ia merupakan tulang punggung keluarga, sudah berapa hak asasi manusia yang justru dilanggar oleh Kepolisian.
Kepentingan politik kekuasaan yang berusaha menguasai arena persidangan melalui pembahasan RKUHAP merupakan hal yang jelas menabrak pembagian kekuasaan. Mungkin hari ini kita jadi penonton, bisa saja suatu saat kita menjadi tontonan. Oleh sebab itu, tidak semua dapat dipolitisasi, termasuk meja hijau pengadilan. Pengadilan merupakan wilayah yang harus dijunjung tinggi marwahnya dan harapan terakhir bagi seseorang yang ingin mencari keadilan. Jika arena ini dipakai sebagai pertarungan politik kekuasaan untuk menjebloskan lawan politik, maka keadilan hanya tinggal nama. Kita sebagai penonton harus memastikan substansi yang terkandung dalam RKUHAP harus selinier dengan Raison D’etre RKUHAP yang ingin melindungi hak asasi manusia. Pemberlakuan Pasal tidak objektif justru menjadi legitimasi bahwa kepentingan politik kekuasaan menjadikan persidangan sebagai papan catur politik.