Semangat reformasi tahun 1998 mengubah wajah baru tata kelola pemerintahan di Republik Indonesia. Masa transisi demokrasi pada tahun 1998 menitikberatkan pada partisipasi publik yang lebih terbuka. Hingga mengubah sistem tata kelola pemerintah yang sentralistik menjadi desentralistik. Peran pemerintah daerah lebih di luaskan, bukan lagi menerapkan pola top down, akan tetapi dengan bottom up. Pemerintahan bottom up artinya pemerintah daerah di berikan ruang untuk mengupayakan pembangunan yang ada pada daerah yang bersangkutan melalui sebuah pengajuan kepada pemerintah pusat. Sehingga pemerintah pusat tidak lagi mendikte pemerintah daerah.
Salah satu bentuk perubahan implementasi tata kelola pemerintahan tersebut melalui sebuah desentralisasi sebagai upaya mendorong otonomi daerah. Desentralisasi muncul dari kritik mengenai pola pemerintahan yang cenderung terpusat dan mengabaikan daerah. Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Kemudian di revisi kembali melalui UU RI Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah.
Desentralisasi yang di wujudkan melalui otonomi daerah memiliki keterkaitan dengan daerah khusus dan daerah istimewa. Terdapat tiga wilayah di Indonesia yang memiliki status daerah khusus dan daerah istimewa. Terdiri atas Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nangroe Aceh Darusallam, hingga Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi papua juga mendapatkan perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.
Papua memiliki sisi historis yang beragam dalam bingkai ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagaimana di ketahui bersama bahwa papua menjadi saksi perjalanan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa peristiwa penting. Sebagai contoh yang terkenal ialah peristiwa pembebasan irian barat. Selain itu secara sosio kultural, papua memiliki komposisi yang beragam. Baik secara kemajemukan demografi maupun keberagaman suku lokal.
Pemerintah berupaya semakin memperhatikan eksistensi papua di kancah nasional. Hal ini di buktikan dengan pembangunan wilayah papua menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Selain itu rekrutmen pegawai negeri sipil terdapat formasi khusus putra putri papua. Hingga program beasiswa untuk warga papua.
Di sisi lain secara politik kekuasaan, papua masih belum mendapatkan keistimewaan sebesar aceh. Sebagai contoh belum adanya partai politik lokal yang ada di papua. Bisa jadi pemerintah pusat merasa khawatir jika papua akan melepaskan diri dari bingkai Negara kesatuan republik Indonesia kekita di berikan ruang lebih secara politik.
Arah kebijakan kedepan, pemerintah perlu menampung sistem desentralisasi asimetris bagi tanah papua. Terutama masyarakat papua di berikan ruang lebih secara politik. Sehingga sistem noken tidak di lakukan lagi dalam pemilihan umum. Semua masyarakat mendapat kesempatan dalam menentukan pilihan politiknya berdasarkan asas “one man one vote”. Hal tersebut sebagai salah satu gambaran pengejawantahan dari desentralisasi asimetris melalui perspektif politik. Upaya ini di lakukan untuk menghindari kecemburuan papua terhadap daerah lain.

Pondasi dan nilai utama dari desentralisasi asimetris ialah demokrasi sekaligus memperkuat NKRI. Sehingga salah satu bentuk nya adalah partisipasi publik dalam proses suksesi kepemimpinan. Desain inilah yang perlu di perhatikan. Selain desentralisasi asimetris di bidang politik, perlu desain desetralisasi asimetris di bidang ekonomi. Mengingat papua memiliki potensi sumber daya alam terbarukan hingga sumber daya pertambangan yang melimpah. Kendati demikian, masyarakat papua tidak turut merasakan kesejahteraan secara ekonomi. Asset strategis tersebut di kuasai oleh investor untuk kepentingan privat. Sehingga pemerintah daerah hanya mendapatkan sebagian kecil dari pembagian hasil oleh investor selaku pemilik modal. Dengan demikian masyarakat papua tidak turut serta memperoleh kesejahteraan tersebut. Demikianlah gambaran terkait desentralisasi asimetris bagi papua.