Matinya Demokrasi di Indonesia

Oleh: Rahmalia Eka Safitri

Pengesahan RUU TNI menjadi UU menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, masyarakat sipil, dan mahasiswa di sejumlah daerah. Sejumlah pasal dalam RUU TNI yang baru dianggap kontroversial karena dinilai berpotensi mengubah dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia. Isu paling mencuat adalah kekhawatiran kembalinya Dwi Fungsi ABRI yang telah dihapus sejak era reformasi.

Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah perubahan pada pasal 3 terkait kedudukan TNI. Sebelumnya, TNI berada di bawah Presiden dalam pengarahan dan penggunaan kekuatan militer, sedaangkan dalam kebijakan strategis dan administrasi pertanahan berada di bawah Departemen pertahanan. Namun, dalam aturan yang baru disahkan, TNI kini berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal strategi pertahanan dan dukungan administrasi yang terkait dengan perencanaan strategis. Perubahan lainnya terdapat pada Pasal 7 terkait tugas pokok TNI. Dalam UU sebelumnya, TNI memiliki 14 tugas Operasi Militer selain perang. Kini, dua tugas baru ditambahkan, yaitu membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Pasal lain yang menuai perhatian adalah pasal 47 tentang penempatan TNI  aktif di Kementerian dan Lembaga. Sebelumnya, hanya 10 lembaga yang dapat diisi anggota TNI aktif. Kini, jumlahnya bertambah menjadi 14 lembaga, termasuk Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamah Agung.

Pengesahan UU TNI kemarin tentu jauh sekali dari praktik penerapan dwifungsi ABRI yang terjadi di era Orde Baru. Prajurit TNI hanya diperkenankan menduduki jabatan di luar struktur TNI yang memiliki relevansi kerja dengan TNI seperti Badan Penjagaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Jaksa Agung pidana Militer di Kejaksaan Agung. Hakim Agung Militer di Mahkamah Agung dan lain-lain. Pembuatan UU banyak memberikan keuntungan bagi kekuasaan eksekutif, dan DPR tidak berfungsi check and balances tapi ikut mempelopori lahirnya kebijakan tersebut. Bahkan peran DPR sekarang lebih buruk ketimbang masa orde baru yang menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah.

Disetujuinya RUU TNI sebagai tanda matinya demokrasi di Indonesia. Demokrasi mati bunuh diri karena institusi DPR yang seharusnya menjaga nilai demokrasi malah meruntuhkan kedaulatan rakyat. Terlibat dalam persekongkolan dan dalam jangka Panjang merugikan demokrasi. Setelah RUU TNI disahkan justru partai politik berpotensi mengalami tekanan militer dalam menjalankan pemerintahan. Kita sebagai kalangan sipil harus tetap waspada setelah RUU TNI disahkan, pengesahan RUU TNI memberi makna bahwa DPR setuju militer masuk ke institusi sipil dan semakin tidak terkendali. Buktinya selama ini sangat banyak militer aktif menduduki jabatan sipil di berbagai Lembaga termasuk BUMN. Praktiknya selama ini tak ada sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran itu, justru jabatan sipil yang bisa ditempati militer aktif semakin diperluas. RUU TNI yang disetujui DPR dan pemerintah ini seperti bom waktu yang diaktifkan, terutama di wilayah tempat  industri ekstraktif. Pelibatan militer untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam itu akan meningkatkan konflik antar masyarakat dengan pemerintah, Perusahaan dan dihadapkan kekuatan militer.

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan kalangan akademisi merespon cepat pengesahan RUU TNI sebagai tanggung jawab moral dan intelektual untuk mengatakan kebenaran. Keliru jika menganggap penguatan peran militer di ranah sipil sebagai upaya untuk menandingi kekuatan aparat kepolisian. Pemerintahan demokratis harus berada jauh dari institusi yang tidak punya nilai-nilai demokratik. Bahkan organisasi masyarakat sipil harus mendobrak pintu hotel tempat rapat tertutup RUU TNI. Setelah peristiwa pendobrakan pintu rapat itu baru koalisi masyarakat sipil reformasi keamanan diundang Komisi I DPR untuk memberikan masukan terhadap RUU TNI. Bivitra menegaskan DPR itu manipulatif karena undangan rapat dengar pendapat umum diberikan kepada koalisi pada hari yang sama rapat digelar, selain itu koalisi tidak diberikan naskah akademik dan RUU TNI.

Mahasiswa di berbagai kota bangkit menolak Revisi UU TNI yang telah disahkan DPR pada 20 Maret lalu. Aksi unjuk rasa tak hanya berlangsung di kota-kota besar semacam Jakarta, Semarang, Bandung, dan Surabaya, tetapi juga dilakukan di Tasikmalaya, Sukabumi, Jember, Majalengka, Lumajang, Kupang, Ende, dan Blitar. Aksi demonstrasi diwarnai intimidasi, kekerasan, dan penangkapan oleh aparat keamanan yang melibatkan tentara. Menyebarnya aksi demonstrasi penolakan revisi RUU TNI ke berbagai wilayah tidak lepas dari tumbuhnya kelompok-kelompok kritis di berbagai kota di seluruh Indonesia, itu salah satu tanda bahwa kelompok atau kelas kritis sudah relative menyebar di Indonesia. Demokrasi ini adalah semacam buah setelah 25 tahun Reformasi, para mahasiswa yang menjadi peran utama Gerakan ini juga lahir setelah era Reformasi. Ketika kebebasan para mahasiswa terancam dengan menguatnya peran militer dan revisi UU TNI, maka muncullah aksi-aksi demonstrasi ini.

Hal ini, adalah penanda bahwa kesadaran publik mengenai ancaman terhadap demokrasi masih terdistorsi sehingga isu-isu kebebasan sipil masih hanya bersirkulasi di kelompok-kelompok kritis di kampus dan Lembaga swadaya masyarakat. Jika hal ini dibiarkan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan pelanggaran berat HAM  di masa depan, hal tersebut tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional, alasan lainnya yaitu dampak impunitasi yang dimiliki anggota TNI yang akan berpengaruh terhadap tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi. Hal ini bisa mengancam kebebasan sipil dan demokrasi dalam menyuarakan pendapat dan kritik serta berpengaruh terhadap kekuatan politik yang ada di Indonesia di mana aktor-aktor politikn yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki posisi kekuasaan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan Keputusan yang bias serta bertentangan dengan prinsip kesetaraan dihadapan hukum.

Pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil dapat mengancam supremasi sipil, membuka  ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara, hingga menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang. Impunitas juga berpengaruh terhadap situasi kebebasan akademik di Indonesia. Di antaranya, melalui sweeping buku-buku kiri, pembubaran diskusi berkaitan isu Papua dan keamanan nasional, serta berbagai Tindakan represi lainnya menjadikan situasi kebebasan akademik semakin memprihatinkan.

Perubahan RUU TNI dapat dikategorikan sebagai kejahatan legislasi, karena bertentangan dengan prosedur pembentukan undang-undang yang telah ditentukan dalam undang-undang Nomor 12 tahun 2011. Pelaksanaan rapat pembahasan revisi UU TNI di hotel secara tertutup dan mengerahkan penjagaan yang intensif oleh Komando Pasuka Khusus (Kopassus) menunjukkan proses pembentukannya sangat jauh bertentangan dengan prinsip partisipasi bermakna, berdasarkan sejumlah alasan tersebut KIKA bersama asosiasi akademisi lain sepakat bahwa UU TNI yang telah disahkan bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM serta merupakan bagian dari kejahatan legislasi serius yang membunuh demokrasi Indonesia, melalui pernyataan ini menolak bangkitnya dwi fungsi ABRI dengan cara pengisian jabatan sipil dari TNI aktif yang semakin melanggengkan impunitas TNI dalam birokrasi sipil. Hal ini bertentangan dengan upaya untuk membangun pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *