Quo Vadis Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Quo Vadis Kebebasan Berpendapat di Indonesia

Dewasa ini dunia tumbuh dengan pesat setelah melalui berabad-abad sebelumnya. Berkembangnya demokrasi telah membawa pada kebebasan berpendapat. Sehingga, dengan demikian setiap orang berhak untuk menyatakan ide, gagasan, dan pendapat mengenai segala hal di muka umum.

Kebebasan berpendapat dari awal sengaja dirancang untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia. Kemudian demi mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan kreatitifitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. [1]

Rizal Malarangeng dalam bukunya  Dari Langit mengartikan bahwa kebebasan pada dasarnya dipahami dalam dua bentuk : postif dan negatif. Konsepsi kebebasan negatif mengacu pada suatu keadaan dimana kita bebas dari paksaan orang lain. Paksaan, misalnya dalam bentuk hukum, di sini hanya diperlakukan untuk mencegah tindakan seseorang yang merugikan orang lain.[2]

Selanjutnya, konsepsi kebebasan positif merujuk pada suatu keadaan dimana kita bebas untuk menata kehidupan kita, bebas untuk berpartisipasi dalam suatu proses yang akan mengontrol hidup. Disini seorang manusia bebas dianggap sebagai orang manusia yang dapat  melakukan hal-hal yang  dianggap bernilai untuk dilakukan.

Ia juga mengungkapakan, bahwa sekilas dua konsepsi ini tampaknya tidak jauh berbeda dalam hal konsekuensi-konsekuensi praktisnya. Sampai tingkat tertentu, keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Namun pada dasarnya keduanya berbeda. Dan perbedaan ini bisa menghasilkan dua manusia yang berbeda yang melakukan tindakan yang sepenuhnya bertentangan, keduanya atas nama kebebasan.

Kebebasan berekspresi memainkan peran yang amat penting dalam telaah hukum kebebasan menyampaikan pendapat. Hal ini karena, mengambil yang dikatakan D.C. Nuzianto yang dikutip oleh Antonio Segura Serrano ketika berbicara internet dan demokrasi, bahwa hal ini telah terkonseptualisasi sedemikian rupa menjadi semacam forum untuk kebebasan berekspresi dengan potensi nyaris tak terbatas bagi setiap individu guna mengekspresikan dirinya dan menerima ekspresi individu lain.[3]

Menyampaikan pendapat dimuka umum  merupakan salah satu hak asasi yang dilindung secara kontitusional. Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.  Perlindungan tersebut telah diakui sejak Indonesia merdeka karena pasal tersebut tidak pernah diubah semasa semasa amandemen Undang-undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa menyamapaikan pendapat—atau dalam bunyi pasalnya disebutkan “mengeluarkan pikiran”—disadarai oleh pendiri negara Indonesia sebagai salah satu hal yang penting yang perlu diatur sebagai hak dasar yang diakui konstitusi.

Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan pendapat di Muka Umum, bahwa kemerdekaan diartikan sebagai hak warga negara untuk menyamapaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan di muka umum diartikan sebagai dihadapan orang banyak , orang lain termasuk juga ditampat yang dapat didatangi dan/ dilihat setiap orang. Kemerdekaan ini kemudian dan meliputi unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.

Hak atas kebebasan berekspresi (right to freedom of expression), secara hukum internasional diatur dalam UDHR dan ICCPR. Secara khusus pasal 19 UDHR, pasal 19 ayat (1) dan ICCPR, dan pasal 13 ayat (1) CRC menjamin seorang individu atas hak menyatakan pendapat dan bebas berekspresi tanpa gangguan. Pengakuan dan peraturan terhadap kebebasan berekspresi meniscayakan kebebasan untuk mencari (to seek),menerima (to receive),  dan menyampaikan (to impart)informasi dengan cara apapun.

Pembahasan mengenai penyampaian pendapat umum sebagai penegak demokrasi mengantarkan pada sebuah pertanyaan bagaimana gambaran  realitas sosial berlaku. Seperti diketahui, tujuan dalam pembentukan substansi penyampain pendapat dimuka umum alah diatur dalam perundang-undangan.  Maka, menarik untuk membicarakan mengenai sebuah kesenjangan dari undang-undang dengan realitas yang ada.

            Kisah-kisah Kebebasan Berpendapat

Dalam beberapa dekade terakhir ini di Indonesia eksistensi kebebasan berpendapat sedang mengalama krisis. Padahal, pasca reformasi, sejatinya segala akses berpendapat telah dibuka sebesar-besarnya sebagai bentuk keberpihakan negara dalam proses penciptaan demokrasi di Indonesia.

Tidak sedikit kasus yang terjadi akibat pelanggaran HAM, khususnya hak kebebasan berpendapat. Banyak sekali orang-orang yang mengeluarkan pendapatnya di media sosial bisa berujung di pengadilan. Padahal mereka hanya mengeluarkan pendapatnya. Tidak hanya itu, banyaka sekali individu yang berpendapat di media hingga sampai ke kasus hukum.

Kasus pembubaran terhadap irshad manji  dalam saat melakukan bedah buku, kasus florence, dan hingga yang terakhir adalah adanya pembubaran dalam pemutaran film”senyap” pun tak lepas dari tindakan para pihak-pihak dan ormas yang tidak bertanggung jawab.

Hal ini adalah persoalan yang sangat besar terhadap penegakan hak dalam menyampaikan pendapat umum di negara Indonesia. Seperti diketahui, pembubaran yang dilakukan oleh bebearapa organisasi masyarakat tersebut seolah menampilkan sebuah anarkisme. Parahnya, aparat penegak hukum pun seolah diam terkulai diam atak bicara.

Dalam kasus pemutaran film ‘senyap’  adalah bukti yang seolah mencerminkan sejarah berjalannya demokrasi yang belum sempurna. Hal tersebut terurai pada dinamika masyarakat yang keliru dalam menafsirkan euforia kebebasan tersebut. Kebebasan yang mestinya di artikan dengan menjaga aspek-aspek yang merugikan orang lain. Tak dapat di pungkiri, hal ini berimbas pada kerusakan  konstruksi sosial  menjadi arogan dan tidak terkendali.

Tidak hanya itu, ada yang menarik mengenai  bagaimana perlindungan hukum terhadap kebebasan berpendapat belum mampu memberika gambarannya di negara Indonesia. Pada kasus ini, seolah aparat kepolisian tidak memberikan jaminan keamanan terselenggarnya kebebasan berpendapat di dalam masyarakat. Sebaliknya, aparat seolah menagamini apa yang diinginkan oleh para organisasi masyarakat yang memaksakan agar diskusi dihentikan dengan alasan tidak sesuai dengan pendapat mereka.

 Hal ini dapat dipahami bahwasannya  implementasi terhadap penindakan HAM seolah tidak berjalan baik. Tentu, ini menjadi sebuh setitik nila yang mengotori demokrasi yang sekian lama sudah di bangun. Jika demikian, maka benar seperti yang dikatakan oleh Frederich Bastiat, bahwa hukum telah menjadi sebuah organisasi hak individu secara kolektif untuk membela diri.

Pendapat Sebagai Keadilan

 Kondisi yang terjadi ini memberikan sebuah gambaran akan adanya nir keadilan dalam hukum kepada sekelompok atau pada individua yang memiliki ide atau gagasan yang berbeda. Sehingga, berimplikasi pada adanya tindakan-tindakan yang tidak mengenakan bagi pemilik gagasan atau ide yang berbeda.

John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikann utama dalam institusi sosial sebagaimana dalam sistem pemikiran. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa teori yang tidak benar harus ditolak, begitupun hukum yang tidak adil harus direformasi.

Masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya dirancang untuk meningktakan kesejahteraan anggotanya, namun secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu : Pertama, dimana setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama. Kedua, Institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial. Ketiga, adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial disini melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas..[4]

Dari beberapa uraian tersebut nampaknya jelas bahwa prinsip keadilan harus ditempatkan sebagai dasar kebijakan hukum pemerintah. Hal ini demi mendorong tujuan terwujudnya kesejahteraan sosial seperti yang disampaikan Rawls. Dalam kasus pemberian akses terhadap kebebasan berpendapat dalam ruang publik, sejatinya pemerintah memiliki porsi penting agar terlindungi didalam masyarakat.

Rawls menekankan bahwa dalam sebuah lembaga/ institusi-institusi dasar yang ada juga harus berjalan sesuai dengan prinsip keadilan tersebut dengan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap anggota masyarakat, tanpa ada diskriminasi pada golongan atau kelompok sosial tertentu.

Dalam hal ini tidak berlaku diskriminasi dalam pelayanan publik, semua nggota masyarakt memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian setiap kebijakan publik harus mempertimbangkan nilai keadilan sosial, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial kelompok yang dirugikan. Hal tersebut menjadi dasar kebijakan hukum yang mengarah pada upaya menjaga stabilitas nasinal dengan terciptanya pemerintahan yang adil.

Peran keadilan sebagai fairness bukan merupakan prinsip yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Pembicaraan tentang efisiensi, koordinasi, dan stabilitas tersebut pada dasarnya dapat dikaji bagaimana peran serta pemerintah dalam melaksanakan prinsip tersebut dalam usaha mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kualitas skill dan mental aparatur negara merupakan faktor paling penting dalam pelaksanaan prinsi tersebut.

Berkaitan dengan profesionalisme manajemen negara, disini keadilan di bidang sosial tidak semata-mata bersifat pukul rata, melainkan lebih bersifat proporsional, yaitu adanya keseimbangan dan kelayakan. Dengan kata lain, dalam keadilan sebagai fairness, mengandung makna, bahwa mewujudkan keadilan dalam kehidupan sosial yang sejahtera selain dilandasi oleh nilai moral keadilan, juga dibutuhkan sikap profesionalisme pemerintah dan aparaturnya.

Dari uraian tersebut sejatinya ada beberapa hal yang dapat kita ambil. Bahwa sejatinya, apa yang disampaikan Rawls sejatinya memiliki makna bahwa kebebasan berpendapat merupakan keadilan yang sejatinya harus diberikan bagi setiap warga negara. Kemudian, negara, sebagai pemiliki otoritas  sejatinya harus mampu merefleksikan nilai-nilai keadilan dalam menjamin kebebebasan berpendapat yang ada dalam tatanan sosial masyarakat.


[1] Pasal 4 UU Nomor 9 tahun 1998

[2] Rizal Mallarangeng,  Dari Langit : kumpulan esai tentang manusia, masyarakat, dan kekuasaan, (Jakarta, Gramedia, 2008).

[3] Antonio Segura-Serrano, “Internet Regulation and The Role of International Law”, dalam A, von Bogdandy and R Wolfrum (ed), Max Planck Yearbook of United Nations Law Volume 10, (Netehrlands : Konklijke Brill, 2006), hal 261

[4] Fadhilah,  Refleksi Terhadap Makna Keadilan Sebagai Fairness Menurut John Rawls Dalam Perpekstif Keindonesiaan, Jurnal Madani Edisi II/November 2007

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *